02: DIMANA?!

126 25 10
                                    

Abel tak berani untuk menghentikan langkahnya sedetik pun. Teriakan pak tua juga masih setia memasuki gendang telinga gadis itu meskipun tak separah diawal, namun tetap saja membuatnya kini menjadi pusat perhatian para manusia berkulit putih yang berlalu-lalang di sekitarnya.

Bayangkan seorang gadis kabur dari kejaran seorang pak tua yang meneriakinya 'pencuri'? tentu saja hal itu bisa menarik perhatian mereka yang sedang memenuhi jalanan hari ini!

"SAYA BUKAN PENCURI!" teriak Abel sekencang mungkin agar si pak tua mendengarnya.

"LALU KENAPA KAU BERADA DI RUMAHKU KALAU BUKAN UNTUK MENCURI!?"

"Kenapa suudzon sih ni ora—AW!" adegan kejar-kejaran tersebut terhenti, pun dengan kerumuman orang yang kini menyaksikan Abel yang jatuh dengan posisi terduduk karena tak sengaja menabrak punggung seseorang.

"Akhirnya tertangkap juga!" ucap si pak tua setelah dirinya berhasil menghampiri gadis itu. Napasnya sendiri ngos-ngosan seperti Abel saat ini.

"Saya sudah bilang kalau saya itu bukan pencuri, kenapa anda ngotot sekali menuduh saya seperti itu?" ucap Abel tak mau kalah.

"Kalau kau bukan pencuri, kenapa kau bisa berada di dalam rumahku?" tanya si pak tua lagi.

"SAYA PUN TAK TAHUUUU—" dan tangisan Abel pun pecah saat itu juga. Bingung, kesal, takut, dan lelah bercampur disaat yang sama sehingga membuat perasaannya kalut, apalagi di tempat yang tak ia ketahui sama sekali semakin mendukung perasaannya.

"Apa yang sedang terjadi, tuan Powell?" suara lembut yang berada tak jauh darinya membuka suara.

"Gadis ini memasuki rumahku tanpa permisi, nyona Andersen. Jadi kuasumsikan bahwa dia tengah mencuri sesuatu dari rumahku—"

"Tapi saya tidak mencuri!" rengek Abel lagi. Kalau seperti ini yang bisa ia lakukan hanyalah mencuri simpati dari orang-orang.

"sudah berapa kali kau mengatakan hal yang sama, huh?—lihat pakaianmu, terlihat aneh dan tampak bukan dari sini!" gadis itu menundukan kepalanya, menatap seragam putih abu-abunya lalu menatap orang-orang disekitar yang berpakaian bak pemain film bertemakan masa lampau di daratan eropa.

"A—aku—"

"Sekarang ikut aku ke Pengadilan Kota—" Ucapan tuan Powell langsung dipotong oleh wanita yang dipanggil nyonya Andersen tersebut.

"Gadis ini mungkin sedang tersesat, biar kubawa dia ke rumah." nyonya Andersen membantu Abel berdiri. tuan Powell sendiri langsung memprotes perkataan yang disampaikan wanita barusan, tetapi setelah berbicara empat, nyonya Andersen menuntun Abel untuk berjalan berdampingan dengannya.

"Terima kasih, nyonya."

"Bukan masalah," Jawab wanita beriris abu-abu tersebut. "Namaku Lilian Andersen. Bagaimana denganmu, gadis muda?"

"Abelia Dinatawati,"

"Namamu terdengar asing. Darimana asalmu?"

"Indonesia,"

"Indonesia?" Ulang nyonya Andersen, bingung dengan nama negara yang baru saja disebut oleh Abel.

"Oh ya, jika boleh saya bertanya, dimanakah saya saat ini?" Tanya gadis itu, tidak memperdulikan wanita paruh baya di sebelahnya yang makin menatapnya heran.

"Kau sedang berada di London sekarang—"

Abel membeku, tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan nyonya Andersen barusan.

"DIMANA?!"


---



Abel mengigit kuku ibu jarinya gusar.

Ia masih tak menyangka jika kini dirinya berada di Inggris. Dan melihat bagaimana cara berpakaian orang-orang sepanjang jalan menuju kediaman nyonya Andersen, gadis itu tahu jika dirinya berada di tahun yang sangat jauh dari tahun 2019.

Apakah gue sedang menjadi time traveler? batin gadis itu.

"Makanlah," Abel terbangun dari lamunannya saat semangkuk sup dihidangkan di hadapannya. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun memakan sup tersebut.

"Supnya sangat enak nyonya Andersen," puji Abel, membuat wanita yang duduk di seberangnya tersenyum.

"Jika boleh tahu lagi, darimana asalmu Abel?"

Abel berpikir. Jika dirinya sedang time traveling dan berada di jaman orang-orang berpakaian bak Sherlock Holmes yang diperankan oleh Robert Downey Jr. Mereka mungkin mengenal Indonesia dengan nama lamanya; Hindia Belanda.

"Hindia-Belanda, nyonya." Jawab abel akhirnya.

"Ahh...yang sedang dikuasai oleh Netherland, ya?" Abel mengangguk, "Bagaimana gadis dari tempat sejauh itu bisa berada disini?"

Pertanyaan yang paling Abel hindari pun datang. Tak mungkin 'kan jika dirinya membalas bahwa dirinya hanya berniat untuk menuntaskan panggilan alam di toilet sekolah tetapi secara tiba-tiba berakhir di negeri antah-berantah?

Dan seakan bohlam muncul di atas kepalanya, sebuah ide Abel dapatkan; membuat skenario yang bisa meluluhkan hati nyonya Andersen sehingga wanita cantik tersebut membantunya.

"S–saya seharusnya bersama Ayah ke suatu tempat, tetapi saya dan beliau terpisah sehingga saya sampai disini–" Okay, bagus sekali, Bel. "–kalaupun saya kembali, saya tidak memiliki apa-apa kecuali pakaian yang saat ini saya kenakan."

Nyonya Andersen menatap Abel iba, hal itu pula yang membuat gadis berumur sembilan belas tahun tersebut berteriak girang dalam batin.

"Berapa lama ayahmu berada di Inggris, nak?"

"Mungkin dua minggu, nyonya."

"Apakah kau tahu kemana dia pergi?"

Abel menggelengkan kepala. Jika dirinya menjawab secara spesifik dimana ayahnya pergi, akan muncul kemungkinan; tempat yang Abel sebutkan namanya belum ada pada saat itu dan menbuat nyonya Andersen curiga, atau nyonya Andersen akan membantunya mencari sosok ayah gaibnya jikalau tempat tersebut ada.

Dan Abel harus bermain aman untuk saat ini.

Wanita bersurai keemasan tersebut menganggukkan kepalanya, "Bagaimana jika kau tinggal sementara disini sembari mencari ayahmu?"

Yes! "B–bolehkah, nyonya?!"

"Tentu saja, kebetulan kami memiliki kamar kosong yang bisa Abel gunakan."

Untuk saat ini, rencana untuk meluluhkan hati nyonya Andersen berhasil.

Setelah ini dirinya harus membuat rencana jangka panjang, termasuk mencari cara agar dirinya bisa kembali ke tahun 2019 dengan badan utuh tanpa lecet sedikit pun.

Back to 1809Where stories live. Discover now