Sembilan belas

Mulai dari awal
                                    

Ji hwa menghela napasnya kesal. "Dia tetap benar-benar pergi."

Jae Hoon menghentikan kegiatannya.

"Noona.. Apa harus Hyo joon? Apa tidak bisa Woo Jin hyung saja?"

Ji hwa menoleh pada Jae Hoon. "Maksud mu?"

"Noona..sudahlah. Terima saja.."

"Kamu ngomong apa sih?"

"Semua orang juga tau kalau noon suka sama Hyo joon. Tapi Noona Hyo joon itu hanya anak dari pelayan kita."

"Memang kenapa kalau anak pelayan?"

Jae Hoon mencebik kesal. "Oke bukan begitu alasannya. Tapi karna noona sudah menikah. Aku pikir Woo Jin hyung cukup untuk mengganti Hyo Joon, suami mu sudah cukup hebat Noona. Jadi sudahlah menyerah saja dengan Hyo Joon..satu lagi aku pikir Hyo Joon tidak menyukai mu. Kalau dia menyukai mu dia tidak akan membiarkan mu terus mengejarnya seperti orang gila yang bodoh"

"Issh.. Anak kecil seperti mu, memangnya tau apa hah?"

"Aku bukan anak kecil aku sudah dua puluh tujuh tahun."

"Hyo joon menyukai ku. Kalau tidak dia tidak akan khawatir padaku. Dia bahkan menjadi yang paling khawatir. Dia lebih khwatir dari suami ku sendiri. Dia hanya menahan dirinya."

"Barangkali tidak seperti itu kak.. Barangkali apa yang dia lakukan kekhawatirannya karna memang Ia sudah terbiasa. Sejak dia berusia empat tahun, tepatnya setelah kaka lahir dia sudah harus menjaga noona, dia bertanggung jawab atas noona. Setiap kali sesuatu terjadi dengan Noona, dia akan di marahi habis-habisan. Noona ingat waktu SMP Noona hilang di sekolah karna Noona pergi dengan teman-teman Noona, Hyo Joon yang di tampar oleh eomma. Bahkan paman choi ikut memarahi Hyo Joon. Selalu begitu, hyo joon hyung nyaris tak punya kehidupan lain selain mengurus mu dan aku. Sehingga rasa khawatir itu muncul begitu saja, mungkin dia lebih mengkhawatirkan dirinya sendiri. Saat kecelakaan kemarin saja Eomma memarahi Hyo Joon. Tapi kali ini Eomma tak melakukan apapun pada Woo Jin. Menurut Noona pria mana yang akan mencintai orang yang membuat hidupnya menderita? Dia bukan menahan, barangkali Ia memang benar-benar muak dengan noona"

Dengan tatapan kesal Ji hwa melihat ke arah Jae hoon. Namun tentu saja tak ada yang bisa Ia katakan karna ucapan Jae Hoon terdengar sangat masuk akal.

"Bahkan kalau dia juga mencinta Noona, noona tetap harus merelakannya.."

"Kenapa? Kenapa harus?"

"Karna itu hanya akan membuatnya menderita. Noona , meski appa terlihat tenang, namun appa cukup mengerikan jika itu menyangkut urusan dengan anak-anaknya. Appa tidak akan membiarkan Hyo joon menjadi pendamping mu. Appa akan membuat Hyo Joon semakin sulit. Berhentilah noona, bermainlah dengan orang yang juga sejenis dengan kita, hanya dengan begitu kita tidak akan menyakiti atau menyusahkan siapapun"

"Lalu aku harus menyukai siapa? Woo  Jin? Apa kamu tidak ingat? dia yang membuat tangan ku seperti ini"

"Kata mu dia tidak sengaja.."

"Iya tapi tetap saja dia begitu karna..." ucap Ji hwa dan terhenti. Ia sungguh tidak mau memperumit apa lagi mempersulit Gyu ri.

"Hah..sudahlah. Woo Jin bahkan tidak menemui ku lagi"

Jae Hoon menaikan satu alisnya. "Dia menjaga mu semalaman"

"Woo jin?"

Jae Hoon mengangguk. "Aku ingin menemani mu semalam. Tapi Woo Jin hyung melarang. Dia bilang dia yang akan jaga"

"Semalam? Woo Jin? Kamu yakin?"

Jae Hoon mengangguk.
"Memangnya kaka tidak bertemu?" kini gantian Jae Hoon yang bertanya.

Ji hwa menggeleng. "Tadi pagi ketika aku baru bangun aku memang melihat orang yang pergi. Tapi ku pikit itu dokter ku. 

"Woo Jin hyung menjaga noona semalaman. Perawat Jaga sendiri yang bilang padaku. Woo Jin hyung bahkan yang terus mengompres Noona ketika noona demam tinggi semalam , perawat juga sudah menawarkan bantuan namun sama seperti ku mereka di tolak"

Dengan cepat Ji hwa menahan senyumannya yang nyari lolos begitu saja. Hatinya mendadak ringan dan Ia mendadak merasa senang. Seakan Ia baru saja di suntikan hormon bahagia.

"A..ya mungkin karna dia merasa bersalah." ucap Ji hwa masih berbicara seakan-akan Ia tak peduli dengan Woo Jin.

Berbeda sekali dengan perasaan yang sangat senang. Ia bahkan lupa kalau Ia tak boleh seperti itu. Ia seharusnya membuat Woo Jin membencinya. Ia harusnya membuat Woo Jin dengan Gyu ri, tapi ia sungguh lupa hal itu. Kini Ia lebih seperti orang yang sedang jatuh cinta. Mungkin Ia juga tak ingat bahwa ini semua tak nyata, bahwa Woo Jin itu tak ada. Itu hanya sebuah tokoh karangannya.

"Ah ..terserah noona deh. Noona kan hanya peduli Hyo Joon.." ucap Jae hoon dan berdiri dari kursinya.

"Kau mau kemana?" tanya Ji hwa

"Ke kamar mandi. Kenapa ? Aku tidak boleh ke kamar mandi? " tanya Jae hoon sinis.

"Silahkan..silahkan. Adik ku yang tampan jangan cemberut seperti itu. Hari ini cukup cerah loh..hayo tersenyum.."

Jae hoon menoleh ke arah jendela yang nampak dari sana bahwa  di luar sedang mendung dan mungkin akan hujan.

"Noona.."

"Hmm?"

"Kau mengirikan" ucap jae hoon dan meninggalkan Ji hwa.

Ji hwa nyaris saja menjerit dan melompat kegirangam ketika mendengar hal itu. Untuk saja Ia masih menguasai dirinya. Namun hal itu tak membuatnya menghentikannya kesenangannya. Ia tetap senang persis seperti remaja yang baru jatuh cinta.

"Woo jin-ah.."

"Oppa?"

"Aishh..apa-apaan kau Ji hwa.."

"Ahh..akan menyenangkan kalau di kamar ini ada kamera , jadi aku bisa melihatnya yang menjaga ku semalaman."

Ji hwa mulai membayangkan apa-apa saja kiranya yang di lakukan Woo Jin semalam. Hingga tiba-tiba saja muncul pikiran nakal yang membuat Ji hwa sedikit terkejut dan menutup bibir.

"Iisss.. Han Ji hwa! Apa yang sedang kamu pikirkan hah?"

****
Happy reading

Uninterrupted Dream (A Perfect way to introduce preposterous love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang