"Lenna? Are you okay- Astaga. Panggil ambulance!" Suara itu samar terdengar. Yang Lenna tahu, pandangannya mendadak gelap. Yang ia rasakan kemudian adalah, tubuhnya yang sudah lemas, ditopang oleh tangan kekar Yuno yang langsung memeluknya kuat. Lenna tak sadarkan diri.

*******

     Sementara itu, di bagian kota yang lain, tepatnya kediaman pribadi Ezra Adithama. Lelaki itu baru bangun dari tidur nyenyaknya, setelah kemarin berhasil mengantarkan satu nyawa lagi ke akhirat. Potongan tangan Riska masih berada di tasnya, setelah semalam ia menyuntikkan cairan formalin ke dalam lapisan kulit mati itu, agar bakteri tak cepat menggerogoti bangkai tersebut.

      Ezra berjalan menyusuri lantai rumahnya dengan tenang, mengambil segelas air lalu meneguknya, membasahi tenggorokannya yang dirasa kering setelah semalaman tidur. Tidak, ia baru tidur pukul empat pagi. Aktifitas membunuh benar-benar membakar energinya secara positif, membantu tidurnya menjadi lebih nyenyak.

     Ditatapnya sekeliling rumah besar itu. Tak ada yang berubah. Ia masih sendirian di sana. Sudah enam belas tahun ia tinggal sendirian, dan itu sama sekali tak masalah baginya. Ia malah senang, tak ada yang mengganggunya, memanggil namanya dengan menjengkelkan, atau sekedar harus berbagi makanan. Ia tak suka itu.

     Pandangannya lalu beralih ke sisi kanan, tepatnya di kamar kedua orangtuanya yang sudah lama tak ia kunjungi. Bukannya ia tak mau, hanya saja kamar itu menyimpan kenangan yang tak bisa Ezra deskripsikan.
Bahkan memori itu masih lekat di ingatannya, seakan menjadi pacuan dalam dirinya untuk menjalani kehidupan kini. Untuk membalaskan dendam pribadi kepada seseorang.

     "Ezra pulang." Ujar Ezra kecil, berusia dua belas tahun yang saat itu baru pulang dari sekolahnya. Mendapati rumah yang tertutup rapat. Sepi. Tumben sekali. Biasanya jika ia pulang dari sekolah, maminya akan menyambutnya di depan pintu, mengambil tas yang tersampir di pundaknya, memberinya makan, lalu kembali mengantarnya ke tempat les. Entah les piano, les matematika, ataupun les bahasa asing. Kali ini, ia memasuki rumahnya tanpa seorangpun yang menyambutnya.

     Dilangkahkan kakinya menuju ruangan tengah. Kosong. Tak ada juga seseorang di sana. Dapur juga sama. Kakinya kemudian melangkah pada kamar tidur utama yang ditempati kedua orangtuanya.

     Masih berdiri di pintu yang terbuka sedikit celahnya, mata Ezra terbelalak ketika mendapati kedua orangtuanya sudah tergeletak lemah di lantai kamar. Maminya yang sudah pucat, terbaring di sudut kamar itu. Sementara papinya, diduduki seseorang berbadan besar yang sedang mencekik lehernya, kakinya mengejang di udara sambil tangannya berusaha melepas cekikan tersebut. Suaranya sudah tak bisa keluar lagi. "Ini bukan mauku, pak Raihan. Pesaingmu yang membayarku untuk menghabisimu. Juga istri tercintamu ini." Kalimat itu terdengar di telinga Ezra, berasal dari lelaki yang masih mencekik leher papinya.

      Anak lelaki kecil itu, hanya diam terpaku, menyaksikan adegan demi adegan perenggutan nyawa orangtuanya. Hanya berkedip sesekali, seakan mempelajari sesuatu yang penting. Anehnya, ia sama sekali tak merasakan takut. Atau kasihan. Ia malah semakin tertarik untuk melihatnya lebih dekat lagi.

     Perasaan aneh mulai menjalar di dadanya. Entah perasaan apa ini, Ezra kecil tak mengerti. Hanya saja, ujung bibirnya perlahan tertarik ke atas, pipi gembulnya semakin menyembul, efek dari senyuman yang tahu-tahu sudah terlukis di wajahnya. Ia tak mengerti mengapa ia tersenyum. Yang ia tahu, jika orangtuanya sudah tak ada, maka ia bebas untuk melakukan apa saja yang ia inginkan. Tanpa les bahasa asing, tanpa les piano yang membuat jari-jarinya sakit, ataupun les matematika yang memusingkan itu.

• AMYGDALA ERRORED •Место, где живут истории. Откройте их для себя