Kekehan pelan terdengar dari bibir Livy. Wonwoo sepertinya malu tiap dipanggil begitu. Lucu juga. Livy pikir, Si Jeon itu cuma es batu diberi nyawa yang susah dicairkan dengan api neraka sekali pun. Tapi kalau begini, sih, Livy tinggal jadi api nerakanya saja. Siapa tahu lama-lama es itu bisa mencair.

"Kau mau pulang tidak?" tanya Wonwoo setelah cukup lama tidak mendapat respon dari Livy.

Gadis itu mengangguk. Berikutnya, Livy sudah mengikuti Wonwoo kembali menuju rumahnya.

"Aku tidur di kamarmu!"

Wonwoo memijat pelipisnya. Kepalanya terasa pusing sekali gara-gara tingkah Livy. Ia baru ingat, di rumah itu Hanya ada dua kamar. Satunya milik Wonwoo, satunya milik ibunya. Tapi kamar punya ibunya sudah lama sekali tidak dipakai. Sekali masuk saja bakal langsung batuk-batuk sangking berdebunya.

"Tidak bisa. Kalau kau tidur di kamarku, lalu aku tidur di mana?" protes Wonwoo pada gadis di hadapannya.

Livy tersenyum miring. "Kalau kau mau, kita bisa tidur bersama, kok."

"Gadis sinting!"

Livy tertawa keras. Muka Wonwoo merah sekali waktu ia mengucapkan kalimat tadi.

Wonwoo menghela napas. Kalau begini caranya, ia rasa ia yang harus mengalah. Lagipula Livy itu perempuan. Masa Wonwoo mau menyuruh gadis itu tidur di sofa. "Aku akan tidur di sofa luar saja," putusnya final.

Wonwoo mengantar Livy sampai ke depan kamarnya. Waktu tubuhnya sudah nyaris berbalik hendak pergi menuju sofa, Livy mendadak bicara, "Kau sungguh tidak percaya dengan apa yang aku katakan kemarin?"

Wonwoo berbalik. "Yang mana?"

"Soal aku tidak membunuh orangtuaku, dan soal pembunuhnya bukan manusia."

Si Jeon diam selama beberapa sekon. Otaknya coba memikirkan perkataan Livy, tapi sisi rasionalnya terus menolak. Mana bisa hantu membunuh manusia? Lagipula, tidak ada yang bisa membuktikan perkataan Livy. Wonwoo gila kalau percaya begitu saja pada ucapan mantan tersangka. "Apa kau ada bukti?"

"Ada." Livy mengarahkan telunjuknya pada diri sendiri. "Aku adalah buktinya."

Wonwoo tersenyum kaku. Sia-sia dia mendengarkan ucapan gadis itu. "Pergilah tidur, jangan melantur." Ia mengibas-ngibaskan tangannya ke arah Livy, lalu berbalik dan mulai melangkah pergi.

"Lalu siapa yang membunuh orangtuaku? Apa kau bisa menjelaskannya?" Lagi-lagi, ucapan Livy membuat Wonwoo harus menghentikan langkah.

Pemuda itu berdecak pelan, tapi tidak terdengar sampai Livy. Ia bicara tanpa membalik badannya. "Karena kau dibebaskan, kasus itu ditutup dengan kemungkinan orangtuamu bertengkar hingga saling membunuh."

"Apa kau menemukan sidik jari mereka di bekas cekikan?"

Kali ini Wonwoo membalikkan badannya. Air mukanya ketara kesal. "Lalu kenapa? Kenapa kau ikut campur, sih? Ini tugas kepolisian, jadi kau cukup diam dan ikuti, mengerti?!"

Nada Livy naik satu oktaf. "Mereka orangtuaku! Bagaimana mungkin aku tidak ikut campur?!"

"Bisakah kau diam dan tidur saja? Kepalaku mau meledak sedari kau datang tadi," balas Wonwoo putus asa. Lelaki itu berbalik dan melanjutkan langkahnya, tidak peduli pada Livy yang masih menyeru padanya.

Berkas kasus kematian orangtua Livy sudah dibereskan ke dalam brankas bersama dengan berkas kasus lama lainnya. Kasus itu resmi ditutup dan harusnya, Wonwoo sudah tidak merasa bersalah lagi sebab tidak bisa tahu siapa tersangkanya. Bagaimana pun, Tuan Seo sangat baik padanya dulu, sewaktu Wonwoo dan ibunya masih tinggal di sana.

"Hyung, ini masih belum kau masukkan ke brankas." Seokmin menyerahkan lembaran kertas berisi laporan autopsi orangtua Livy.

"Terimakasih," kata Wonwoo, menerima lembaran kertas itu.

Tangannya hendak memasukkan lembaran kertas tadi ke dalam brankas, tapi terhenti saat hatinya tiba-tiba menyeru pada Wonwoo untuk membuka kembali lembaran-lembaran itu.

"Astaga, kenapa aku begini?" Wonwoo mengacak surainya frustasi. Ia putuskan buat membaca kembali berkas itu.

Ditemukan sidik jari Tuan Seo di bekas cekikannya sendiri. Begitu pun dengan milik Nyonya Seo. Sejujurnya, Wonwoo sudah merasa aneh. Buat apa mereka mencekik diri sendiri? Tapi selama ini ia abaikan karena fokus pada Livy sebagai tersangka.

Selain itu, berkas autopsi menyatakan kalau waktu kematian Tuan Seo lebih dulu daripada Nyonya Seo. Padahal, Nyonya Seo jatuh menimpa guci keramik seperti itu seharusnya karena didorong oleh sesuatu. Kalau bukan Livy, lalu apa?

[]

Kalian nungguin ga? Monmaap aku tenggelam dalam lautan tugas hyung ㅠㅠ

Btw, mortala punya adek. Ada yang suka genre dark fantasy? Action? Yok mampir ke work aku yg satu.

 Ada yang suka genre dark fantasy? Action? Yok mampir ke work aku yg satu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Baru bgt ku publish ue ue ue ㅠㅠ

𝓶𝓸𝓻𝓽𝓪𝓵𝓪。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang