BAB 4: PETUALANGAN KE INDRAMAYU

Start from the beginning
                                    

Sharla dan Fajri terkekeh. Wawan dan Herman hanya bengong. Herman beranggapan bahwa bagian Sharla dalam psychological profiling dibilang gampang karena hal tersebut memang makanan sehari-hari Sharla dan Fajri. Wawan sendiri bingung kenapa pekerjaan Sharla dibilang gaji buta, dan sedikit berharap bahwa ia ditugaskan membantu Sharla ketimbang masuk lokasi angker bersama Herman.

Fajri meneguk kopinya. Ia melihat Wawan sebentar, dan hampir menyemburkan kopinya karena hendak tertawa. Fajri memang masih belum terbiasa melihat wajah Wawan yang selalu terlihat sedang bingung. Namun ia menengok ke Wawan karena hendak membicarakan topik berikutnya.

"Nah, sisters, berkat Wawan juga, kita dapet banyak klien potensial yang dapet rekomendasi dari Pak Rahmat. Beberapa udah gua tanya-tanyain, dan emang rata-rata keliatan shady banget. Ada yang nawarin tips sampe puluhan juta."

Mata Herman dan Sharla terbelalak, sedangkan yang terbelalak dari Wawan adalah mulutnya. Namun sebelum sempat ada yang berkomentar, Fajri menggelengkan kepala, "Cuman demi keamanan, jangan diambil semua. Kita kan udah famous ya, sis. Kerjaan kita sebage pemburu hantu udah diresmiin pemerintah, kan. Udah bayar pajak kita. Tips-tips terlalu gede bisa nimbulin kecurigaan. Apalagi kalo kita diselidikin polisi, terus polisi ngeliat kita ngelayanin klien di tempat-tempat yang rame narkoba."

Herman mengangguk, "Lu yang ngurusin lah, Jri. Gua tinggal ngerjain bagian gua."

Sharla berkomentar, "Gua bahkan udah bisa ngeramal kalo semua orang yang ngubungin kita dari rekomendasi Pak Rahmat tuh cuman orang-orang yang mau warga setempat diem. Rumah kosong, tapi banyak aktivitas malem-malem. Warga resah lah."

Herman meneguk minumnya, "Terus kalo udah ada konfirmasi dari kita kalo suara-suara hantunya itu cuman suara binatang, warga nggak bakalan nanya-nanya lagi?"

"Yoi," Sharla mengiyakan; "Kita udah terkenal. Udah dianggep profesional. Itu aja udah cukup buat klien-klien terdahulu kan? Jarang ada yang minta pembasian hantu lagi. Emang awalnya mungkin gara-gara masih nggak percaya kita. Tapi lama-lama kita dapet ucapan terima kasih juga, kan? Udah ngebuat hidup mereka lebih tentram? Paling nanti nggak akan ada yang nanya-nanya lagi kalo udah kita konfirmasi tempat mereka bebas hantu."

Herman menghembuskan napas panjang, "Ga nyangka aja kerjaan kita bisa jadi shady kayak begini."

Fajri membenarkan kacamatanya, "Makanya udah gua bilang, sisters, jangan diambil semua. Kita bisa bilang ke mereka-mereka ini kalo kita lagi banyak klien lain. Bisa kita tunda berbulan-bulan. Mereka mau ngapain, emang? Mereka juga tau proses kerja kita tuh lama. Bisa lah mereka nunggu setengah taun ato setaun. Kita stretch aja klien-klien yang shady ini. Misalnya, yah, layanin satu klien shady tiap tiga bulan sekali. Kita bertiga toh orang-orang berotak semua, kan? Bisa lah kita pinter-pinter nyari solusi."

Wawan penasaran siapa satu orang di antara mereka berempat yang tidak termasuk dalam tiga orang berotak yang dikatakan Fajri.

Herman mengeluh, "Nasi udah jadi bubur. Tau gini kemaren harusnya tolak Pak Rahmat, ya."

"Ya mana kita tau, Beb, kalo Pak Rahmat ternyata ngedarin narkoba," Sharla cepat merespons; "Untung kemaren Wawan sukses. Doi punya otak."

Wawan terkekeh. Ia mengonfirmasi bahwa Herman lah yang merupakan orang di antara mereka berempat yang tidak termasuk dalam tiga orang berotak yang disebut Fajri. Ia tersenyum, dan Fajri berusaha menahan tawanya ketika ia melihat senyum Wawan yang, baginya, seperti senyum orang-orang tak berotak.

"By the way," Fajri melanjutkan obrolan, "Udah nemu barista baru? Ini si Wawan kan bakal ikut ke Indramayu."

Sharla mengangguk, "Udah kok. Tenang aja."

PARA PENAKLUK HANTUWhere stories live. Discover now