A. What Is It?

17 4 6
                                    

Aku selalu memperhatikanmu.

Naka bergidik. Bulu kuduknya serempak berdiri ketika membaca satu kalimat dari sebuah buku yang ada di dalam tasnya. Buku itu bukan milik Naka, dan ia tidak tahu siapa yang menaruhnya di dalam tasnya.

Yang pemuda itu ingat, ia berlatih gitar di ruang musik mulai dari jam istirahat hingga pulang sekolah dan meninggalkan tasnya di loker kelas. Membuat ia bertanya-tanya siapa yang melakukan hal ini padahal lokernya terkunci?

Naka berpikir sejenak. Mungkin saja 'kan ini ulah temannya yang iseng? Pemuda berambut pendek sebahu itu menggeleng kecil. Ia meletakan buku tersebut di bawah laci mejanya, memutuskan untuk segera pulang karena hanya ia yang tersisa saat ini di sekolah.

.

.

.

Permainan gitarmu sangat bagus lho, aku suka.

Naka berdecak kesal. Buku yang sama kembali muncul di depan pintu rumahnya, tepat di atas keset. Ia menyempatkan diri bertanya pada tetangganya yang sedang menyiram tanaman apakah ada orang asing yang masuk ke perumahan ini? Tetangga itu bilang, ia sedari tadi di luar rumah dan tidak melihat siapa pun di sekitar sini.

Lalu siapa?

Baru kali ini Naka kesal hanya karena sebuah buku tanpa tuan, yang seperti membuntutinya ke mana pun ia pergi. Pemuda berdarah Belanda itu membuang buku tersebut ke dasar tong sampah, kemudian menimbunnya dengan kantong plastik penuh berisi sampah.

Jika buku itu muncul kembali, Naka bersumpah akan membakarnya.

.

.

.

Seusai mengganti baju. Naka turun dari kamarnya menuju dapur, tenggorokannya kering. Setibanya di depan kulkas, sebuah kertas tertempel.

Mama sama Niam ke rumah Tante Siska, jengukin Luna. Kamu masak aja apa yang ada di kulkas. Sekalian bikinin buat Papa kalau dia pulang makan siang.

Naka mengangkat kedua aslinya, ia tersenyum. Mamanya memang perhatian. Ia pun menyambar kunci lemari pendingin yang terletak di laci dinding, kemudian membuka kulkas dan mencari minuman soda.

Ia mendapatkannya. Minuman soda beralaskan buku dengan sampul warna cokelat di bawahnya.

Buku yang sama seperti di tas dan di depan pintu rumahnya.

Naka menggeram. Tidak ia pedulikan tenggorokannya yang kering dan perutnya yang lapar. Diambilnya buku itu dan pematik kemudian berjalan menuju halaman belakang. Ia melempar buku itu ke tumpukan dedaunan kering, kemudian membakarnya berharap buku itu lenyap dan tidak akan muncul kembali.

Naka belum sempat melihat isi di dalamnya. Tapi siapa peduli?

Siapa pun pelakuknya, tentu orang itu sudah membututi Naka selama ini. Dari kalimat pertama di lembaran buku itu yang bertuliskan bahwa seseorang itu terus memperhatikan Naka, kemudian dilanjutkan dengan memuji permainan gitar Naka.

Pesan kedua membuktikan bahwa ‘dia’ benar-benar memperhatikan Naka. Dia tahu Naka bermain gitar, dan dia tahu bagaimana permainan gitar Naka seperti apa?

Bagus. Tentu saja. Kalau tidak Naka tidak mungkin menjadi gitaris group band sekolah 'kan?

Sekarang, apa isi pesan ketiganya? Jujur, Naka sedikit penasaran. Tapi ia tidak ambil peduli dan segera melenyapkan buku itu. Naka berdiri, mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Tidak ada siapa pun.

Oke. Sekarang pertanyaan selanjutnya; bagaimana orang itu masuk? Pagar rumah Naka terlalu tinggi untuk dipanjat, serta ujungnya yang lancip seperti tombak. Ditambah setiap kali ada yang datang, lonceng yang ada di gerbang dan pintu rumahnya pasti akan berbunyi.

Jadi, ‘dia’ lewat mana?

.

.

.

Jendela.

Mungkin saja ‘dia’ lewat jendela. Maka dari itu Naka menggembok setiap jendela di rumahnya dan memastikan tidak ada siapa pun selain dirinya di rumah, sampai ayahnya pulang bekerja. Ibu dan adik laki-lakinya menelepon bahwa mereka akan menginap semalam di rumah Tante Siska.

Naka menyelesaikan makan malam. Ayahnya memustuskan menonton televisi di ruang tengah, Naka tidak bisa menemani ayahnya karena ia harus menyelesaikan tugas yang begitu banyak.

Cahaya remang lampu halaman menyorot masuk, menerobos tirai tipis jendela, menambah sedikit cahaya di kamarnya. Pemuda itu mengerjakan tugas Matematika lebih dulu. Kemudian Fisika. Selanjutnya kimia.

Entah beruntung atau bagaimana, tugas yang ia kerjakan semuanya hitungan dan memakai rumus. Ia tidak dikategorikan anak pintar yang dominan otak kiri, tapi di antara keduanya. Dia tidak terlalu pintar tapi kreatif.

Tapi ... tunggu dulu, lampu halaman? Bukannya kamar Naka terletak di lantai dua, sedangkan lampu halamannya hanya setinggi setengah meter?

Jadi, cahaya apa yang terdapat di luar jendela?

Naka bergidik. Ia menelan ludahnya susah payah, tenggorokannya mengering dan sakit. Segera ia meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja, pasti cahaya itu berasal dari kunang-kunang atau semacamnya.

Pemuda itu membuka buku selanjutnya. Bukannya soal kimia atau rumus fisika, ia malah mendapati tulisan;

Isi pesan sebelumnya:
Jujur. Aku suka banget sama kamu.

Mau gak ketemu aku besok?

Tubuh Naka tegang. Ia menoleh ke arah jendela ketika bunyi gemericing terdengar. Seseorang meloncat ke bawah, membawa serta cahaya kedip-kedip yang semula dikira lampu halaman ataupun kunang-kunang.

Lalu ....

Bruk!

.

.

.

Update: selasa-jum'at-minggu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 04, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Beautiful Stalker Where stories live. Discover now