Di hari itu

18 6 0
                                    

Hari itu sangat terik, hari dimana aku benar-benar merasa lelah. Sejujurnya aku merasa tidak begitu nyaman dengan suasana kerjaku. Ku hembuskan napasku beberapa kali sembari terus melangkahkan kaki menaikki tangga menuju atap gedung.

Ku dorong pintu berwarna abu-abu itu, ku hirup dalam-dalam semilir angin yang sejuk. Tanpa sadar sudut bibirku tertarik ke atas. Ya, aku tersenyum di rasa jenuhku.

Ku pijakkan kakiku di rerumputan buatan, samar-samar aku melihat sosok laki-laki tengah berdiri membelakangiku. Sosoknya sedikit menjadi seperti siluet terkena sinar matahari sore.

Dengan ragu aku dekati orang itu, ku beranikan diriku untuk berdiri disampingnya. Senyumku merekah, aku hembuskan napasku sekali lagi.

"Pak, bapak tau tidak kalau bapak itu sudah melakukan hal yang tepat, bapak itu sudah berusaha yang terbaik untuk semua. Memang, kadang kenyataan tidak memihak kita, tapi tidak apa, Pak. Masih ada banyak waktu untuk mengembalikan semuanya, untuk memperbaiki semuanya." ucapku sembari menatap lurus ke depan.

Daniel, laki-laki berambut cokelat dengan poni jatuh membelah tengah, harus ku akui atasanku ini sangat tampan ketika sedang berantakan seperti ini. Rambutnya yang acak-acakan membuatnya tampak keren.

Ku rasakan Daniel sedang menatapku, samar-samar ku lirik ke tempat dimana ia berada. Ya, disebelahku. Senyum tipis terpancar di wajahnya, dia memang tidak mengatakan apapun, tetapi senyumannya sudah sangat jelas mengatakan bahwa ia baik-baik saja, dan terima kasih.

Ya, sama-sama Daniel. Ucapku dalam hati tentunya.

****
Sejak kejadian di sore itu, dikala senja mulai memilih mengalah pada bulan. Aku dan Daniel menjadi dekat, bahkan rasanya sudah tidak ada jarak lagi diantara kami. Aku bahkan memanggilnya El, tanpa embel-embel Pak seperti seharusnya.

Tapi untuk mencapai titik ini, tidaklah mudah. Aku dan Daniel harus melewatkan beberapa hal dulu sebelum akhirnya kami sepakat untuk saling melengkapi.

Daniel adalah seseorang yang selalu mendukungku. Dia selalu mendorongku ketika aku ingin berhenti. Dia selalu menarik tanganku jika aku tertinggal. Dia selalu membantuku bangkit ketika aku terjatuh.

Mengingat itu, rasanya aku ingin tertawa. Bagaimana bisa aku dan Daniel bisa sampai seperti itu, mengingat aku dan Daniel sangat berbeda. Segi pandangan, pola pikir, bahkan sampai kebiasaan.

Contohnya, dia menyukai kopi dan aku menyukai teh. Jika memikirkan itu, rasaya membuatku pusing. Seperti teka-teki dengan puzzle yang hilang, sulit diketahui.

"Adhisty!" seru seseorang sambil berlari kecil dari ujung lorong.

Aku menoleh dan mendapati sosok Daniel, dia berlari dengan poni yang berjatuhan dengan bebas. Senyumku merekah tanpa sadar.

Daniel berhenti tepat di hadapanku, dia menyodorkan susu kotak berukuran kecil di depanku, aku ambil dengan senang seperti biasanya. Kami habiskan susu pisang tersebut dengan saling menatap.

Seruputan terakhir milik Daniel membuatku tertawa, lalu dengan wajah memelas ia berkata, "Dis, lu pernah ngerasa kehilangan gak sih?"

Aku mengangguk sembari menatap matanya. Lalu aku menjawab, "Pernah, dulu aku merasa memiliki rumah. Tetapi ketika disini, aku kehilangan semuanya. Aku bahkan merasa rumahku semakin menjauh, aku lebih banyak menghabiskan waktu disini."

"Tapi itu udah risiko kan, Dis?" tanyanya.

Aku terdiam, pandanganku kini beralih ke cincin yang tersemat di jari manisku. Kalau boleh egois, aku tidak mau mengatakan hal itu sebagai risiko, karena pada dasarnya aku tidak pernah berkeinginan memilih berada disini dan berakhir seperti ini.

Begitupun dengan Daniel, ia sibuk memperhatikan cincin yang juga tersemat di jari manisnya. Memutar-mutarnya seakan memberi isyarat bahwa hatinya sedang bingung.

"El, apapun yang terjadi tetap usahakan yang terbaik seperti biasanya. Dengan begitu, kita tidak akan kehilangan apapun." ucapku sembari tersenyum, ku genggam tangannya seakan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Ku lihat wajah Daniel mulai kembali bersinar. Helaan napas lega keluar dari mulutku. Akhirnya aku bisa menjadi seorang teman yang berguna. Walau hanya sebatas menenangkannya.

****
Aku masih berkutat dengan pikiran kalang kabut di meja kerjaku. Laporan sangat menumpuk. Belum lagi aku harus mengejar project divisiku.

Ku garuk rambut cokelat panjangku berusaha meluapkan emosiku, rasa frustasi menyerangku. Sial, ingin rasanya aku banting semua berkas di hadapanku ini.

Ditengah rasa muakku, aku merasakan ada sebuah tangan yang mengusap pucuk kepalaku. Aku menoleh dan mendapati Daniel yang berdiri sembari memegang dua gelas kopi berlogo bintang. Senyumnya merekah, matanya membentuk eye smile.

"Sudah sampai mana?" tanyanya sambil menaruh gelas kopi di mejaku.

"Masih bikin proposal project dan masih bingung apa aja yang mau di masukin." jawabku.

Tanpa basa basi, Daniel langsung mengambil alih laptopku, tangannya kini mulai lihai menari di keyboard laptopku.

"Kalau mau bikin sesuatu ditentuin dasarnya dulu, gagasannya, judulnya, kata pengantarnya, pembukaan, lalu materinya. Semua harus jelas, kalau perlu diperjelas untuk point benefitnya." jelasnya dengan pandangan yang masih fokus ke layar laptop.

Aku hanya bisa mengangguk, lalu aku buka buku catatanku tentang semua materi yang ku pelajari. Sementara Daniel masih serius dengan ketikannya.

Jarum jam kini menunjukkan pukul 3 dini hari dan aku sudah mulai mengantuk. Beberapa kali aku menguap, gelas kopi yang sudah kosong pun sudah mulai berantakan. Tanpa sadar aku meletakkan kepalaku di meja dengan bermodalkan tangan untuk bantalnya. Lama ku tatap Daniel, kini aku pun tertidur.

Entah berapa lama aku tertidur, tetapi tiba-tiba aku merasa ada yang membelai pipiku, dan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Yang aku pastikan itu adalah tangan Daniel. Biarlah, aku terlalu mengantuk untuk sekedar memastikan. Sampai akhirnya.

Pip
Pip
Pip

Suara itu adalah alarm dari jam yang ada di mejaku. Ku buka mataku dengan berat, tubuhku terasa sangat lemas sehingga aku tidak langsung bangun, melainkan hanya membuka mataku. Betapa kagetnya aku ketika melihat Daniel ada dihadapanku, tertidur dengan kepala diatas meja dan posisi duduk.

Jadi, semalaman kami saling berhadapan dengan jarak yang sangat intens ini. Tanpa sadar aku menahan napasku. Oh sial, napas Daniel sangat terasa saat ini.

Dengan cepat aku bangkit dan langsung memutuskan ke toilet yang ada diruangan. Mencuci muka, mandi, lalu berganti baju.

Selesai semuanya, aku kembali keluar dan betapa kagetnya ketika aku berpapasan dengan Daniel, jidat mulusku mendarat persis di dada bidangnya. Aku mau meringis, tetapi aku terlalu malu karena kejadian tadi pagi ketika aku bangun. Sehingga aku langsung buru-buru pergi meninggallan Daniel yang masih berdiri disana dengan wajah bingung.

Mungkin ia bingung melihatku salting, biarlah. Biarkan hanya aku yang sadar kejadian dimana kami tertidur dimeja yang sama dengan wajah saling berhadapan dan sangat intens seperti tanpa batas.

Oh sial, aku ingin melupakan hal itu.






TBC•

A Mistake [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang