Hari Terindah

8 3 0
                                    

Entah sejak kapan playlist laguku kini berubah. Aku menjadi senang mendengarkan lagu Gnash - I hate you i love you. Entah di mobil atau saat sendiri aku selalu mendengarkan lagu itu. Mungkin karena sangat persis dengan kisahku.

Sudahlah, sudah setahun sejak kejadian dimana aku berakhir dengannya. Kini aku menjalani hari-hariku seperti sebelum ada dia.

Aku menoleh ke sampingku, disana ada laki-laki yang hampir bertahun-tahun menemani aku. Dikala senang dan sedih, siapa lagi kalau bukan Daniel? Si pria bijak yang ternyata suka galau juga.

Aku bahkan sampai hapal kebiasaan Daniel, makanan kesukaan Daniel, semua yang dilakuin Daniel. Entahlah, sekarang aku jadi seperti satpam hidupnya, ia lebih terbuka soal apapun dalam hidupnya ke aku.

Mobil merah kesayanganku berhenti tepat di parkiran outdoor pantai. Dari dalam mobil saja pantainya sudah bisa terlihat. Aku dan Daniel sangat menyukai pantai, kami gemar mendengarkan semilir angin dan suara ombak yang saling beradu.

Kalau kata Daniel, kami itu layaknya karang yang diterjang ombak berkali-kali, tapi masih kokoh berdiri walau ada beberapa lubang yang mengisyaratkan bahwa kami juga memiliki luka yang sama dengan orang lain.

"Turun yuk, Dis." ujar Daniel.

Aku mengangguk, kami turun dari mobil dan memutuskan untuk berjalan ke tepi pantai. Angin yang kencang menerbangkan bebas rambutku, senyum bahagia terpancar di wajah kami.

Kami bermain dengan bahagia, saling melempar pasir, saling mengejar, saling berlarian melawan obak di tepi pantai. Sampai saling duduk berdampingan memandangi ombak yang sibuk menerjang karang.

"Dis, pantai enak ya, selalu dihampiri ombak. Ombak kayak enggak ada capeknya untuk terus mengunjungi pantai."

Aku menoleh sekilas, lalu kembali menatap pantai. Menyenderkan kepalaku di bahunya.

"Dis, kita kayak matahari dan bulan ya?" tanya Daniel tetap memandangi pantai.

"Kenapa gitu?"

"Kita selalu melengkapi, tapi gak bisa menyatu. Karena matahari tidak untuk bulan, dan bulan tidak untuk matahari. Kita hanya bisa saling menutup kekurangan dan menyempurnakan kehidupan, kita cuma bisa berdampingan tanpa bergesekan. Bahkan setiap hari, ada senja yang selalu menyadarkan betapa bodohnya gua kalau berpikir matahari bisa menyentuh bulan." ucapnya tenang.

Aku terdiam. Ada perasaan aneh di dadaku saat ini, tapi aku memilih bungkam. Aku tidak bereaksi apapun, aku hanya diam seakan tidak mengerti apa yang di ucapkan Daniel.

"Dis...,"

Aku masih diam.

"Salah gak sih, kalau gua naruh hati ke orang lain?"

Aku mengangkat kepalaku, menatap mata Daniel dengan intens. Disana, aku menemukan suatu jawaban yang membuatku ingin berhenti.

"El, tetap di jalur yang sama dengan Rara. Jangan ngelakuin kesalahan apapun, tetap sama dia. Tetap untuk dia, Rara terlalu baik untuk di khianatin. Inget kan mimpi lu buat nikah sama Rara, punya anak, jadi keluarga bahagia. Inget kan?" ucapku sembari terkekeh.

Kini Daniel yang terdiam. Begitupun denganku, tatapan kami masih beradu. Sampai akhirnya aku memulai percakapan kembali.

"El, inget gak pertama kali kita kenal gimana. Sampe detik ini gua masih gak habis pikir kenapa kita bisa sejauh ini, banyak hal yang udah kita lewatin. Gimana pun prosesnya, gua selalu menikmati. Makasih udah jadi sahabat gua. Udah jadi segalanya untuk gua, gua sangat beruntung kenal lu. Gak ada sedetikpun pikiran untuk nyesel kenal sama lu." ucapku sambil tersenyum.

Aku berdiri, berjalan menjauhi Daniel, mengarahkan langkahku kembali ke parkiran mobil. Dan Daniel hanya mengikutiku dengan raut wajah tidak terbaca. Daniel menyalahkan mesin mobil dan terputarlah lagu Fiersa Besari - Garis terdepan. Lagi-lagi aku dan Daniel hanya bisa terdiam selama perjalanan pulang ditemani lagu tersebut.

****
Sejak pulang dari pantai, aku dan Daniel tidak lagi seintens dulu. Aku tidak lagi bertegur sapa layaknya sahabat. Bahkan aku kembali memanggil Daniel dengan sebutan Bapak.

Terakhir Daniel memberikan record lagu kepadaku. Saat itu aku tengah berada disebuah cafe. Dimana cafe itu adalah saksi dimana pertama kalinya Daniel berani mengacak-acak rambutku.

Mungkin suatu saat nanti
Kau temukan bahagia
Meski tak bersamaku
Bila nanti kau tak kembali
Kenanglah aku, sepanjang hidupmu

Segelintir lirik yang masih sering terniang di pikiranku. Pikiranku kacau, hatiku tidak menentu. Rasanya aku lelah menahannya.

Aku lelah berpura-pura, tapi apa mungkin aku bisa egois dengan memilih mendahulukan hatiku? Bukankah akan ada banyak hati yang sakit jik aku memaksakan hatiku?

Sial, kenapa aku bisa berada di titik sulit ini. Aku benci sekali dengan keadaan ini. Sungguh, aku membencinya.

Jika bisa memilih, aku lebih memilih mati rasa, daripada aku harus terjebak perasaan yang mustahil.

Ku pejamkam mataku, berharap ketika aku membuka mata ini semua hanyalah mimpi, kekacauan ini bukan akhir dari segalanya. Aku tidak bisa mengakhiri semuanya dengan cara seperti ini.

Ku remas pulpen ditanganku, secarik kertas sudah berada di mejaku. Perasaanku campur aduk untuk sekedar mengisi biodata di lembaran itu.

Pikiranku benar-benar tidak jernih, saat itu yang ku pikirkan hanyalah bagaimana caraku keluar dari zona nyaman itu. Demi kebaikan bersama, terutama perasaan Rara.

Sial, kau sangat menyedihkan, Adhisty.

Kau hanya menjadi penghalang untuk kebahagiaan seseorang, kau bahkan tidak pantas untuk berada disini. Jangan mengubah seseorang hanya karena egomu, Adhisty Airani Selaras.

Dengan sangat berat, aku putuskan mengisi biodata tersebut.



TBC•

A Mistake [COMPLETED]Where stories live. Discover now