Ketemu!

      12-03-2006.

       Tanggal itu tertulis di belakang foto terakhir tadi. "Tiga hari dari tanggal ini adalah tanggal lima belas, dan mama ditemukan meninggal di tanggal tiga belas. Gue nggak jadi berangkat ke Amerika kerena kematian mama, dan akhirnya hanya dia yang berangkat sendiri. Dia, yang selalu menganggap gue musuh terbesarnya." Lenna bermonolog sendiri sambil menyambungkan hal-hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. "Tapi, apa mungkin ..., dia?"

     Dengan cepat Lenna menyambar ponselnya, lalu menyambungkan panggilannya dengan nomor ponsel ketua timnya.

     "Yun, maaf, ya. Kayaknya aku datang agak lambat hari ini." Ujarnya, ketika mendengar suara Yuno mengangkat panggilannya.

     "Ada apa, Lenna? Kamu sakit?" Terdengar nada khawatir dari seberang sana. Tentu saja, tak mungkin lelaki itu tak khawatir dengan gadis ini.

     Lenna menggeleng cepat, padahal ia tau, Yuno tak mungkin bisa melihat gelengan kepalanya itu. "Aku nggak sakit, mas. Hanya perlu pergi ke suatu tempat sebelum berangkat ke kantor."

     "Perlu aku antar?"

     "Nggak, mas. Nggak perlu. Aku bisa pergi sendiri, kok."

      Hembusan napas berat terdengar dari seberang. "Okay, Lenna. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku, ya. Jangan lupa!!"

      "Siap, bos!"

      Setelah panggilan itu terputus, Lenna cepat-cepat bersiap menuju tempat kerjanya yang sudah pernah ia datangi. Temannya, yang juga terpilih untuk mengikuti pertukaran pelajar di Amerika saat itu, teman sekolahnya yang selalu berada satu langkah di belakangnya.

       Ezra Adithama. Entah mengapa, mendadak Lenna ingin bertemu empat mata dengan lelaki itu.

*******

      Dinding berwarna putih serta nuansa serupa sudah mengelilingi pandangan Lenna, duduk di sofa berwarna peach sambil menunggu pemilik ruangan ini datang. Secangkir teh beraroma melati sudah terhidang di depannya, tentu saja disajikan dengan ramah oleh Brienna, asisten Ezra di butik ini.

      Lenna sebenarnya masih tak terlalu yakin dengan tujuannya ke tempat ini, ia hanya ingin memastikan sesuatu yang terus mengganjal di hatinya sejak pertama kali bertemu lagi dengan Ezra. Tatapan Ezra masih sama dengan tatapan yang selalu ia berikan kepada Lenna saat bersekolah dulu. Tatapan kebencian.

      Tak lama berselang, lelaki tampan berambut pirang itu turun dari lantai atas, menghampiri tamunya yang dibiarkan menunggu lima belas menit lamanya. "Sorry, there's some bussiness before." Katanya, kemudian duduk di hadapan Lenna.

     "Jadi, ada apa? Saya yakin, kamu datang ke sini bukan hanya sekedar untuk iseng, kan." Tanya Ezra langsung. Sepertinya lelaki ini sedang malas berbasa-basi.

     Lenna mengangguk, gadis ini juga sedang malas berpanjang lebar. "Ezra, kamu ingat, ketika SMP dulu kita berdua ditunjuk sebagai siswa yang mewakili kota untuk terlibat dalan pertukaran pelajar ke Amerika," Lenna menjeda sedikit ucapannya. "Dan pada akhirnya, hanya kamu yang berangkat."

     Ezra mengiyakan, "Benar, karena ibumu meninggal saat itu."

     "Kamu tau, ibu Shinta meninggal akibat apa?" Shinta adalah nama dari mama Lenna.

      "Dibunuh, kan?" Wah, enteng sekali bibirnya mengucap hal mengerikan itu. "Lalu, mengapa bertanya seperti itu ke aku?"

      Lenna menghela napas. Lelaki ini masih sama seperti dahulu, nada bicaranya tak pernah ramah di telinga. "Aku pikir, kamu tak tahu, karena mama meninggal hanya dua hari sebelum kepergianmu ke luar negeri. Dan lagi, kamu bukan tipe orang yang peduli dengan hal seperti itu, kan?"

• AMYGDALA ERRORED •Where stories live. Discover now