PART 9

94 10 0
                                    


Siang ini, aku dalam perjalanan untuk menghadiri, pembukaan Gerai frenchise minuman milik Amran di salah satu mall di pinggiran kota, yang tidak jauh dari tempat tinggal Fatimah.

Emak dan Aira memutuskan untuk tinggal bersama Fatimah, setelah Elsa berpulang, dan itu juga atas permintaan Fatimah kepada Amran, karena Fatimah merasa kasihan jika Emak nanti yang akan  mengurus Aira sendirian.
Akupun sering berkunjung ke rumah Fatimah,  menengok Emak dan bermain bersama Aira.
Warung Fatimah sudah selesai di renovasi Amran, sehingga terlihat lebih besar, dan Amran juga membantu melengkapi kelengkapan barang-barang yang di jual di warung tersebut.

Baru saja ku selesai memarkirkan mobil,  sebuah pesan masuk dari mamah, yang mengingatkanku jika malam nanti harus sudah ada di rumah, karena ada tamu yang sengaja papah dan mamah undang untuk makan malam.

"Ku menangisss..." Nada dering teleponku berbunyi.
"Bang Ridwan" nama si penelpon di layar hp ku.
Sering sekali Pengacara tampan ini menelponku, baik sekedar menanyakan kabar,  ataupun untuk mengingatkanku tentang sholat dan saat-saat masuk jam makan, hal-hal yang tidak pernah di lakukan Amran, keluh ku.

[ Assalamualaikum Win..]
~
[ Wa'alaikum salam, bang ] jawabku.
~
[ Abang sudah di gerai Amran nih, kamu di mana sekarang ]
~
[ Sebentar lagi sampai ko bang..ini baru selesai parkir ]
~
[ Ok, Win....hati-hati yach ] Ridwan mematikan hp nya.
"Hati-hati kenapa.." gumamku, "lah'kan aku sendiri sudah di dalam basemen mall" jadi senyum-senyum sendiri.

Pembukaan gerai milik Amran berlangsung meriah, karena selain kawan-kawannya Amran yang hadir, Ridwan pun juga turut mengundang kolega-koleganya.
Emak, Fatimah dan Aira juga ikut hadir, dan sesekali ku perhatikan, Ridwan terus saja memperhatikanku.
Acara pembukaan gerai Amran, baru saja selesai, dan kulihat Ridwan sedang mengantar kolega-koleganya menuju basemen.
Saatku sedang berbincang-bincang dengan Emak, Fatimah dan Aira.

"Win...aku ingin mengajakmu sebentar, ada hal penting yang ingin aku bicarakan." Degg...Amran mengagetkanku.
Aku pun mengangguk, tetapi sempat ku melihat, saat Amran melirik ke arah Aira, dan Aira menunjukkan jempol nya kepada Amran sembari tersenyum, entah apa maksudnya, pikirku.

Di sebuah Restoran masakan Indonesia, juga masih di dalam mall, Amran mengajakku, dia memilihkan lokasi yang agak jauh dari keramaian, tepatnya di meja yang paling ujung, walaupun masih bisa terlihat dari pengunjung-pengunjung yang lalu lalang.

"Kamu mau pesan apa Win?" Tanya Amran kepadaku, saat pelayan resto menghampiri kami dan menyodorkan menu.
"Aku minum saja yah mas," kataku sembari meletakkan daftar menu di meja.
Dan Amran pun mengikutiku.

"Win...Aku ingin melamarmu untuk menjadi Istriku dan mamahnya Aira."

Terkaget-kaget aku di buatnya, tanpa basa basi, Amran langsung bicara seperti itu.
Aku hanya bisa melongo.

"Kamu bersedia tidak win?" tanya Amran memastikan.

Aku tetap belum mampu menguasai keadaan. Aku bernafas pelan-pelan menetralisir kegugupanku.
Aku memang menunggu saat-saat ini, walaupun tidak sesuai ekspektasiku.

"Kenapa Amran tidak bisa romantis sih.." keluhku, dan kenapa tidak sebahagia saat-saat dulu aku membayangkannya.

"Apa karena kehadiran dan perhatian Ridwan..." cepat-cepat ku usir pikiran itu.

" Mintalah aku kepada orang tuaku mas," jawabku pelan kepada Amran.
Amran terdiam sejenak

" Kamu sendiri bagaimana Win?"
Amran ingin memastikan perasaanku.

"Jika orangtuaku setuju, aku pun pasti akan menyetujuinya." Tetap ku sembunyikan perasaanku. Karena menurut adat istiadat Jawa priyayi, wanita mengungkapkan perasaan cinta kepada lawan jenis adalah sesuatu hal yang di anggap tabu,  sesuka apapun hatimu pada seseorang.

"Baik Win, akan kucari waktu yang tepat untuk menemui keluarga mu."
Gawai Amran berbunyi, sepertinya Ridwan yang menelpon, entah apa yang mereka bicarakan.
"Ridwan pamit terlebih dahulu, karena ada acara penting malam ini katanya." Amran menjelaskan kepadaku, dan aku hanya tersenyum saja.
"Aku juga langsung pamit yah mas Amran, Papa dan mamah sudah wanti-wanti, supaya aku jangan pulang terlalu malam. Tolong sampaikan salam kepada Emak,Aira dan Fatimah, aku langsung pulang dan tidak bisa mampir ke gerai lagi."
Aku pun segera pamit dari Amran.

Papah dan Mamah seperti sibuk sendiri, mengatur kesiapan tamu yang akan datang, papah ada utang Budi katanya, tanpa menjelaskan siapa sosok tamu yang akan datang untuk di undang makan malam.

Di saat aku sedang merias diri di kamar, sembari berpikir mencari waktu yang tepat untuk memberi tahukan Papah dan Mamah,
tentang rencana Amran yang ingin melamarku, si mbak yang membantu-bantu di rumah memanggilku, di suruh mamah untuk segera keluar dan menemui tamunya papah.

"Tamunya berapa orang mbak?" tanyaku kepada si mbak
"Hanya satu orang ko' non.."
Satu orang saja, papah..mamah..sampai segitu ribetnya, kataku dalam hati.
"Yah, nanti aku keruang tamu mbak" kataku pada si mbak.

Kulihat Papah dan mamah sedang berbincang-bincang dengan seseorang, saat ku berniat untuk menemuinya.

"Bang Ridwan..." Cukup terkejut juga, aku di buatnya.
"Windi.." hal yang sama kurasa juga terjadi pada Ridwan.
"Jadi kalian sudah saling kenal?" Tanya Papah kepada kami berdua.
Ridwan hanya tersenyum menghadapi pertanyaan papah.
"Jadi Nak Ridwan ini Win, yang kemarin membantu papah di saat ada sengketa tentang perusahaan papah kemarin, jika tidak ada Nak Ridwan, mungkin papah sudah bangkrut."
Kulihat Ridwan hanya tersenyum saja, sembari matanya sedikit melirik kearahku.

"Nak Ridwan ko Istri dan anaknya ngga di bawa?" Tanya mamah, saat kami sudah kembali duduk dan berbincang-bincang di ruang tamu.
Kulihat Wajah Ridwan sedikit memerah.

"Saya belum menikah Bu" jawab Ridwan sedikit canggung.
"Loh ko belom menikah? sama dong seperti Windi, pasti sibuk di karier yah..." Mamah terus saja bicara, padahal mukaku sudah memerah begini karena malu.
"Belom ada jodohnya kali mah, iya kan nak Ridwan?" Jawab papah plus pertanyaan buat Ridwan, dan Ridwan hanya tersenyum saja
Kulihat Ridwan seperti canggung dan serba salah. Dan matanya terus saja sesekali melirik kearah ku.
dan mamah sepertinya sudah bisa membaca gelagat itu.

"Nak Ridwan bersedia tidak, jika di jodohkan dengan Windi?"

"Mamahh..." Pertanyaan mamah ke Ridwan, benar-benar membuatku jadi malu dan kaget, ku lihat Ridwan pun seperti itu, dan papah hanya senyum-senyum saja. Sepertinya Papah dan Mamah sudah sangat menyukai Ridwan.

"Pak...Bu..." Tiba- tiba Bang Ridwan bicara.

"Sebelumnya saya minta maaf, jika di anggap lancang tentang hal yang ingin saya bicarakan ini," Papah dan Mamah serius sekali memperhatikan.

"Saya sudah Mencintai Windi sejak masa Kuliah dulu, Windi adalah adik angkatan saya sejak masa Kuliah dulu, hanya saya tidak punya keberanian saat itu, untuk mengungkapkan langsung kepada Windi, dan saya siap mempersunting Windi, jika Bapak dan Ibu berkenan...itu pun jika Windi nya bersedia menerima lamaran saya."

Papah dan mamah benar-benar di buat kaget sesaat, terlihat raut kebahagiaan di wajah mereka.
Apalagi aku....yang benar-benar hampir di buat mati terduduk, mendengar Ridwan sudah menyukaiku sejak masa kuliah dulu, perasaan yang terpendam, perasaan yang sama yang ku rasakan kepada Amran.

"Yah Allah...aku harus bagaimana?"

Judul Standar - IBU YANG DI BUANGNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ