“Nanti malam? Jihye juga tidak menginap?”

“Besok aku harus tetap bekerja, Bu. Maka dari itu, biarkan saja Hoseok pulang, aku mau berduaan dengan Ibu. Ya?”

"Aish! Kau ini!"

Setelah berpikir beberapa saat, meski masih tidak terima, Nyonya Han terpaksa mengizinkan. Apalagi Hoseok memang tampak sedikit diburu waktu. Dengan berat hati Nyonya Han kembali mengantar menantunya ke halaman depan. Menemaninya hingga ke mobil, tentu saja Jihye juga turut diseret.

“Hati-hati, ya. Jangan tergesa-gesa. Jika lelah segera menepi,” pesan Nyonya Han, layaknya ibu-ibu pada umumnya. Hoseok mengangguk paham. Menunggu sesuatu, laki-laki itu tidak kunjung menyalakan mesin.

“Jihye, aku berangkat ya?”

“Iya, hati-hati.”

“Nanti tunggu aku jemput ya?”

Perempuan itu mengangguk singkat. “Iya.”

“Han Jihye!"

“Apa Bu?”

“Bukan seperti itu caranya memperlakukan suami! Astaga anak ini!” Memangnya harus bagaimana? “Sudahlah. Menantuku, kau boleh segera berangkat. Selesaikan urusanmu dan segera kembali. Aku akan mengajari ibu hamil ini beberapa hal tentang pernikahan!”

Hoseok tersenyum geli mendengar itu. Jika dipikir-pikir sebenarnya ibunya dan ibu Jihye tidak jauh berbeda. Tipikal ibu-ibu ceremet pada umumnya karena terlalu perhatian pada anak-anaknya.

“Saya pamit ya, Bu,” ujarnya kemudian, menyalakan mesin dan melambaikan tangan. Lalu menatap Jihye dengan hangat. “Eomma, jaga diri baik-baik.”

Samar Jihye mengangguk, melihatnya Hoseok tersenyum makin lebar. Setelah puas dia pun menaikan kaca jendela dan melajukan mobilnya kembali menuju restoran.

Setelah kepergian menantunya, Nyonya Han bergumam, “Aneh. Kadang dia memanggilku Ibu, kadang memanggilku Eomma."

*

*

Ketika Hoseok sampai di restorannya, hari sudah mulai beranjak sore. Melelahkan sekali perjalanan hari ini. Bayangkan saja, dia harus menempuh perjalanan sekitar empat jam mengendarai mobil. Punggungnya terasa sedikit pegal. Namun belum waktunya dia untuk beristirahat.

Dia masih harus memeriksa laporan-laporan keuangan dan menandatangani beberapa kontrak kerja sama dengan penyedia bahan makanan. Sebenarnya dia sudah memiliki karyawan khusus pengelelola keuangan restoran, tapi tetap saja dia harus turut andil memantau. Demi restorannya bisa berkembang lebih baik.

Ketika tengah asik berkutat dalam ruangannya, seseorang mengetuk pintu. Biasanya, satu-satunya orang yang berani merusuh di ruangannya adalah Kim Seokjin, tapi kali ini tidak. Justru Taehyung yang menampakkan kepalanya usai Hoseok mempersilakan masuk.

“Bos, ada yang ingin menemuimu,” katanya memberi informasi.

“Siapa?”

“Dia hanya bilang jika dia dulu temanmu di komunitas dance.” Taehyung menggaruk belakang kepalanya bingung. Lupa tidak menanyakan nama dari tamu bosnya tersebut. Menimbulkan pertanyaan di kepala Hoseok tentang nama-nama yang mungkin mencarinya kembali setelah lama ia tidak lagi berkutat di dunia dance.

“Dia bilang temanku dance?”

“Iya bos.”

Siapa? Tidak mungkin kan …

“Laki-laki atau perempuan?”

Hoseok tidak berharap. Tidak. Hoseok tidak berharap. Sungguh. Kalian percaya kan?

“Laki-laki.” Jawaban Taehyung ditanggapi dengan helaan napas Hoseok.

“Aku akan menemuinya.”

Tidak apa-apa. Syukurlah. Itu lebih baik. Meski nyatanya laki-laki yang harus ditemui Hoseok adalah …

Park Jimin.

Sebenarnya jika boleh jujur, Hoseok sudah tidak ingin lagi bertemu dengan Jimin. Bagaimana ya menyebutnya? Semacam Muak? Mengingat kenyataan terakhir yang ia ketahui dari Jackson bahwa Jimin menjalin hubungan dengan Hana membuat Hoseok merasa kesal. Teramat kesal.

Jimin bahkan adalah junior yang paling dekat dengannya. Junior yang paling sering berkolaborasi satu tim dengannya. Hoseok tidak menyangka, ternyata selama ini dia dikhianati.

“Jimin-ah! Apa yang membawamu kemari?” sapanya, ketika mendapati Jimin duduk di sofa ruang tamu samping ruangannya. To the point saja. Hoseok sedang tidak ingin berbasa-basi. Dia sudah berbaik hati menyambut Jimin dengan ramah. Kekesalannya tengah dia tekan dalam-dalam.

“Hyung, bagaimana kabarmu?” balas Jimin, tampak mencoba mengakrabkan keadaan.

Hoseok mengambil tempat duduk pada sofa di samping sofa Jimin. Berhadapan dengan pemuda sipit tersebut. “Aku baik. Kurasa kau pun begitu. Jadi, ada perlu apa?”

Jimin tampak menimbang-nimbang perkataannya membuat Hoseok gemas sendiri, tidak sabar.

“Baiklah, karena kau terlihat tidak punya cukup banyak waktu. Ini tentang Taeseok Group, Hyung. Kau tahu bukan anak perempuan mereka sangat mengidolakan komunitas dance kita?” Jimin menarik napas sebentar sebelum melanjutkan, “Tahun ini kita juga ditunjuk sebagai pengisi acara pada perayaan ulang tahun mereka, seperti tahun kemarin.”

Hoseok ingat panggung terakhirnya. Perayaan ulang tahun Taeseok Grup. “Lalu?”

“Anak perempuan Tuan Tae sangat menyukai penampilanmu dengan Hana waktu itu. Jadi mereka ingin tahun ini tarian itu ditampilkan lagi.” Jimin bisa melihat ekspresi wajah Hoseok berubah kaku, tapi dia tidak gentar. Dia tahu, tarian yang mereka bicarakan adalah sesuatu yang sensitif, karena tarian itu adalah hasil karya bersama Hoseok dan Hana. Lagu favorit Hana yang dipadu dengan gerakan ciptaan Hoseok, ditampilkan bersama sebagai tarian berpasangan. Ditampilkan khusus pada acara tersebut.

“Kau tahu kan aku sudah tidak menari, Jim? Itu tidak bisa lagi ditampilkan,” ucap Hoseok tegas. Meski di kepalanya masih terputar potongan-potongan adegan saat dia dan Hana menari bersama. Latihan, menyamakan ketukan, memadukan tempo dan saat berhadapan dengan ratusan pasang mata yang menyaksikan penampilan mereka. Sekarang tidak bisa. Semuanya sudah tidak lagi sama.

“Bisa, Hyung. Kita harus tetap menampilkannya karena Taeseok Group adalah salah satu penyumbang dana terbesar bagi kegiatan komunitas kita. Kita tidak boleh mengecewakan mereka.”

“Kau terus menyebut kata ‘kita’, sementara aku bukan bagian dari komunitas itu lagi! Aku tidak bisa dipaksa. Aku tidak akan menari.”

Jawaban yang sudah Jimin perkirakan. “Tapi setidaknya Hana harus menari, Hyung. Tarian itu kalian berdua yang ciptakan. Hanya kalian berdua yang tahu detail gerakannya. Kami mungkin bisa menirunya, tapi tentu tidak sebagus ketika kalian menampilkannya.”

“Kalau begitu biarkan dia tampil, kau bisa jadi pasangannya.” Ada hening  beberapa saat ketika Hoseok menatap tajam pada pemuda di hadapannya. Menekankan kata terakhirnya, menunjukkan ketidaksukaan.

Jimin menyadari hal itu. Pemuda itu membalasnya dengan senyum kecut. “Aku mau saja menjadi pasangannya, Hyung, tapi Hana yang tidak bisa. Dia terus saja mengingatmu.”

Jimin begitu tenang. Meski begitu tetap saja Hoseok kesulitan mencerna kalimatnya.

xxxxxx
Ayo Tim Hoseok-Jihye atau Hoseok-Hana? 😂
Saya mau sembunyi dulu jaga-jaga kalau ada yang menghujat wkwk

Tenang, Teman. Saran, kritik, masukan selalu saya terima kok.
Terima kasih sudah membaca sampai sini 💜
Jangan kurang tidur 😘

Dydte, 26 Juli 2020

House of Cards✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora