"Oalaa.. padahal nggak apa-apa Na.."

"Evita mana kok nggak keliatan?" Tanyaku mencoba mengganti topik.

"Ambil es podeng katanya. Dari tadi dia udah ngincer soalnya kan udah jarang ada es podeng gitu," jawab Audy.

"Ah iya juga sih.. sekarang orang-orang sukanya yang simpel."

Evita pun akhirnya kembali dengan senyuman lebarnya ketika melihatku. Ia langsung menghambur ke arahku dan memelukku dengan gemas.

"Aduh calon mantenku makin cakep aja ini," ujarnya sembari memelukku. Lalu ia melepaskan pelukannya dan terlihat seperti mencari sesuatu. "Lho calon suami mana? Katanya kamu mau kenalin kita?"

"Nggak bisa dia Vit. Ada kerjaan di Surabaya."

"Yah padahal aku pengen banget ketemu langsung. Mau tak marahin dia biar nggak cuek-cuek amat sama temenku."

Aku hanya tertawa menanggapi celotehan Evita.

"Es podengmu mana Vit? Kok kamu kembali dengan tangan hampa?" Tanya Audy.

"Aku nggak jadi ambil. Antri pol. Aku males."

Kami bertiga kompak menertawakan Evita yang memasang wajah melas karena es podeng.

"Entar lah pas nikahan Atsna aku makan es podeng sepuasnya. Kalau di nikahan Atsna yang kejawen banget pasti ada es podeng kan?"

Aku hanya tersenyum sembari mengangkat bahu.

Pernikahan? Setiap mendengar itu kepalaku seperti kosong. Rasanya seperti yakin dan tidak yakin. Bertanya-tanya dalam diri benarkah aku akan segera menikah. Aku akan hidup bersama Mas Irshad. Bisakah kami bekerja sama dalam menjalani hari-hari selalu terngiang dalam kepalaku, karena entah mengapa kadang aku merasa sulit berkomunikasi dengannya. Bukankah kunci dari suatu hubungan adalah komunikasi?

Aku membuka ponselku lagi. Berharap sudah ada balasan dari calon suamiku, tapi nihil. Kami adalah calon suami istri tapi aku merasa calon suamiku ini masih seperti orang lain.

"Na, cincinmu mana?" Tanya Vio tiba-tiba ketika ia melihatku memegang ponsel dengan dua tangan.

"Cincin?"

"Iya. Kan kamu udah tunangan masa nggak pake cincin?"

Ah iya, benar juga. Logika teman-temanku pasti tidak bisa menerima kalau di acara lamaran kemarin tidak ada acara tukar cincin. Waktu itu murni hanya silaturahmi.

"Nggak ada cincin. Nggak ada tradisi seperti itu.. mungkin nanti kalau sudah akad?" Jawabku sebisanya, karena hanya itu yang keluar di kepalaku.

Teman-temanku hanya ber'oh' ria sembari mengangguk-angguk.

Cincin? Bahkan aku dan Mas Irshad tidak pernah membahas cincin. Sejujurnya aku sendiri juga merasa sedikit aneh jika tidak ada cincin, tapi aku juga tidak enak kalau harus minta ke Mas Irshad.

Ah kenapa tiba-tiba mataku memanas. Aku ingin menangis.

"Na, are you ok?" Tanya Audy lembut, sepertinya ia melihat air mukaku yg tampak tidak terlihat baik-baik saja.

Aku mencoba tersenyum, mengangkat wajahku dan menatap tiga sahabatku.

"Aku nggak apa-apa kok." Sayangnya apa yang aku ucapkan bertolak belakang dengan satu tetes air mataku yang tiba-tiba lolos begitu saja.

"Kita cari tempat yuk," Audy menggandengku, membawaku dan temanku yang lain menepi ke tempat yang tidak begitu ramai. Karena tidak mungkin juga kalau kami langsung pulang karena pengantinnya masih belum keluar.

"Na, demi apa pun ini nggak bener. Kalian udah mau nikah loh. Ah aku nggak suka sama sikap calon suamimu itu!"

Evita langsung berapi-api setelah aku menceritakan semuanya.

"Aku jadi nggak ikhlas kamu nikah sama dia Na.." timpal Vio.

"Kayaknya kamu perlu istiqarah lagi deh Na.."

"Bukannya semua udah terlambat Mbak Au? Aku udah melangkah sejauh ini."

"Belum Na.. Itu akan jadi sangat terlambat kalau kamu sampai nikah sama dia dan sikap dia tetep kayak gini."

Aku takut sekali. Aku takut membuat banyak pihak kecewa, terlebih orangtuaku.

Mungkin ini sedikit terdengar memaksa, tapi aku berharap Allah membuatku benar-benar berjodoh dengannya. Dan aku berharap ia bisa berubah menjadi sosok yang lebih perhatian dan mengayomi.

"Kamu udah coba SMS biasa? Siapa tau paketannya habis?"

"Udah Mbak Au, tapi belum terkirim."

"Bisa jadi pas di Surabaya hp nya rusak atau hilang kan Na?"

"Iya bener juga sih kata Vio. Sekaku-kakunya dan senyebelin-nyebelinnya Irshad dia udah milih kamu sebagai calon istrinya. Gak mungkin kan dia ngilang gitu aja di saat kalian udah lamaran?"

Perkataan Evita dan Vio memang ada benarnya. Tapi perasaan takut masih tetap menyelimutiku karena...

"Itu kan dulu sempet mau serius, tapi nggak jadi. Irshadnya tiba-tiba nggak mau."

Aku teringat perkataan Mbak Erna. Bagaimana kalau itu juga terjadi kepadaku? Orangtuaku pasti akan sangat kecewa kalau itu benar-benar terjadi. Aku takut sekali.

.

.

.

TBC

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 04, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

M A R R I E D ?  ?  ? Where stories live. Discover now