Part 13

2.4K 148 23
                                    

Sudah lewat dua puluh menit, mereka makan dalam suasana canggung. Setiap Vano mengajak Marwah bicara, wanita itu hanya menanggapinya dengan singkat. Marwah justru sibuk mengobrol dengan gadis berjilbab pink yang duduk di sampingnya.

Kirana merasa ada yang salah. Sikap Marwah terkesan dingin. Padahal kemarin, mereka sudah mengobrol dengan akrab di telepon. Kirana pikir, Marwah sudah menerimanya dengan baik.

Tapi apa ini? sejak tadi Marwah tidak menggubris kehadirannya. Bahkan wanita itu selalu menatap Danish dengan pandangan tak suka, apalagi ketika Danish beberapa kali memanggil Vano dengan sebutan papa.

Acara makan selesai, setelah meja bersih dari beberapa piring. Vano berinisiatif untuk memulai pembicaraan serius.

"Ibu... Seperti yang aku bilang. Kirana adalah calon istriku, kami meminta restu dari ibu untuk menikah." ucap Vano, ia menatap Kirana dengan teduh. Rasa cinta terpancar jelas dari mata itu.

Marwah mendengus kasar, sebelum akhirnya bicara.
"Kamu sudah pernah menikah, Kirana?" tanya Marwah.

Kirana tersentak, ia kebingungan harus menjawab apa. Sementara Vano yang mendengar pertanyaan ibunya, sontak saja kaget.
Seingat Vano, ia pernah menceritakan pada Marwah tentang status Kirana yang seorang single parent. Lalu Marwah mengerti dan tidak bertanya lebih jauh. Vano pikir, Marwah tidak akan menanyakan hal itu sekarang.

Vano menggenggam tangan Kirana, memberikan isyarat agar Kirana menganggukkan kepalanya.

Namun, yang di lakukan Kirana justru berbeda. Ia menggelengkan kepalanya perlahan. Kejujuran itu penting. Kirana tidak mau hubungan mereka di mulai dengan kebohongan.

Senyum mengejek terukir di wajah gadis berjilbab pink. Namun, dia segera menutupinya. Berpura-pura meminum air dari gelas yang tersedia.

"Jadi... Anak itu hasil dari hubungan di luar nikah?"

"Ibu!" Vano membentak Marwah.

Marwah tidak terima, ia menatap Kirana dengan pandangan tak suka.
"Lihat! Bahkan Vano sudah berani membentakku gara-gara kamu."

Kirana menunduk, kedua tangannya saling meremas. Mata Kirana mulai terasa panas, dengan sekali kedipan saja.. maka air mata yang menggenang itu akan luruh. Kirana mati-matian menahannya. Dia tidak mau terlihat sedih, di depan Danish.

"Ibu aku mohon jangan seperti ini. Bukankah aku sudah menjelaskan pada ibu?" bujuk Vano. Suaranya melunak, berusaha meluluhkan sikap Marwah.

"Tapi kamu tidak bilang ke ibu, kalau Kirana belum pernah menikah. Vano, kamu bisa mendapatkan gadis yang lebih baik. Lihat ini, namanya Bianca. Dia lebih cocok jadi calon istri kamu. Menantu idaman." sahut Marwah, seraya menunjuk pada gadis berjilbab pink yang sejak tadi diam tanpa suara. Hanya mengamati keadaan dengan mata bulatnya.

Ternyata... Marwah sengaja membawa gadis itu, untuk di perkenalkan sebagai calon menantu idaman. Hal itu membuat Kirana merasa tidak di hargai. Mereka melakukan pertemuan untuk bicara tentang pernikahan, bagaimana bisa Marwah membawa calon istri lain?

Vano menatap Marwah dengan pandangan tak percaya. Dia tidak menyangka kalau ibunya itu tega berkata kasar.
Jika tahu akan seperti ini, maka Vano tidak akan mempertemukannya dengan Kirana. Lebih baik menikah tanpa sepengetahuan ibunya, daripada harus melihat Kirana tersakiti.

"Liat anak itu, dia malah memanggil kamu papa. Padahal dia tidak tahu kan... Siapa papa kandungnya." cibir Marwah. Dia masih belum puas juga melontarkan kata-kata yang menyakitkan.

Air mata Kirana sudah tidak dapat di bendung lagi. Semua perkataan Marwah terlalu menyakitkan untuknya. Dia menutup kedua telinga Danish, agar putranya itu tidak mendengar perkataan Marwah.

"Anak haram." gumam Marwah pelan, namun masih dapat di dengar oleh Kirana.

"Ibu sudah keterlaluan!" Vano berseru marah, ia beralih menatap gadis yang bernama Bianca.
"Kamu! di bayar berapa sama ibuku buat datang kesini?"

Bianca terlihat gelagapan di tanya seperti itu, dia tidak bisa menjawab. Hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Bianca atau siapa pun nama kamu, aku gak peduli. Tapi calon istriku hanya Kirana. Dengan atau tanpa restu dari Ibu!"

"Vano, kenapa kamu berkata kurang ajar seperti itu sama ibu. Kamu lebih memilih perempuan yang gak jelas asal usulnya ini? kamu baru mengenal dia kan... Siapa yang tahu kalau dia hanya mau memanfaatkan kamu."

Kirana sudah tidak tahan mendengarnya, semua perdebatan ini tidak akan berujung jika dia masih berada di sini. Kirana berdiri dengan memegang satu tangan Danish.

"Sudah cukup Vano. Lebih baik aku pergi sekarang... Tante Marwah, aku mengerti jika tante gak menyukaiku. Tante boleh menghina aku apa saja, tapi tolong jangan sebut Danish sebagai anak haram. Tidak ada anak yang haram di dunia ini. Mereka lahir dengan suci tanpa dosa, siapa pun orang tua mereka. Yang berdosa hanyalah orang tuanya, bukan sang anak."

Marwah terhenyak mendengar penuturan Kirana. Namun ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Sambil mengusap air matanya, Kirana menggendong Danish, dan beranjak pergi dari tempat mewah itu.
Hatinya terlalu sakit menerima kata-kata Marwah, sampai dia merasa tidak sanggup lagi untuk menopang tubuhnya sendiri.

"Kir, tunggu." Vano berhasil menyusul Kirana. Mereka sudah keluar dari restoran itu.
"A-- aku minta maaf."

"Gak ada yang perlu di maafkan, Van. Ibu kamu benar, kamu berhak mendapatkan yang lebih baik. Dari pada wanita kotor seperti aku." sahut Kirana, lantas menurunkan Danish dari gendongannya. Menekuk lutut hingga sejajar dengan Danish.

"Danish baik-baik aja kan?" tanya Kirana lembut. Dia tidak ingin Danish merasa syok, karena mendengar kata-kata yang kasar tadi.

Danish mengangguk, senyumnya merekah, mengusap pipi sang mama dengan tangan mungilnya. Walaupun tidak mengerti, namun Danish tahu jika mama tercintanya sedang bersedih. Dan orang-orang yang di dalam sana adalah orang jahat, yang membuat mamanya seperti ini.

"Gak, Kir. Kamu yang aku cinta. Kamu wanita terbaik yang aku kenal." Vano tetap teguh pada pendiriannya.

Kirana menghela napas, menggenggam tangan Danish dengan erat. Lalu menatap mata Vano dengan pandangan tajam.

"Kamu belum cerita semuanya tentang aku ke ibu kamu, kan?"

Vano terdiam. Dengan diamnya Vano, Kirana jadi tahu, kalau pertanyaannya itu benar.

"Maaf Vano, aku gak bisa melanjutkan ini. Terima kasih untuk semua yang udah kamu berikan. Aku gak bisa hidup bersama dengan pria, yang keluarganya menganggap Danish sebagai aib. Dia segalanya bagiku."

Vano terlihat prustasi. Dia tidak terima dengan keputusan Kirana saat ini.
Baginya Kirana adalah segalanya, Vano tidak siap kehilangan wanita yang ia cintai.

"Aku akan bicara lagi dengan ibu. Aku mohon jangan seperti ini. Sekarang aku antar pulang ya."

"Aku bisa naik taksi."

"Kirana, please. Kamu gak lihat Danish, dia lelah. Mau sampai kapan kamu tunggu taksi datang?"

Kirana beralih menatap Danish. Vano benar, wajah Danish terlihat mengantuk dan lelah. Di jam sibuk seperti ini, sangat sulit mencari taksi yang kosong.
Kirana akhirnya mengangguk. Walaupun terpaksa, dia mau menerima ajakan Vano untuk pulang bersama.

🌸🌸🌸

KIRANAWhere stories live. Discover now