1. ^Prolog: Kepergian^

Start from the beginning
                                        

"Kalau begitu jangan pergi!" Tanpa kusadari nada suaraku sudah meninggi. Jujur saja aku tidak bisa menahan lagi emosi yang sedari tadi bersemayam di dada sejak kemarin.

"Tidak bisa juga, Mentari. Kamu tahu kan, dari dulu apa yang menjadi keinginanku, pergi berpetualang setamat SMA, menjelahi semesta ini."

"Apa kah aku nggak bisa jadi semestamu saja?"

"Mentari adalah semestaku yang paling utama untuk mendapatkannya aku harus menaklukan seluruh semesta yang ada."

"Bawa aku berpetualang bersamamu, Gib." Kali ini aku yang lebih memohon padanya.

"Kamu ingat nggak, kenapa aku menamaimu Mentari?" Dia tidak mengiyakan atau menolak, malah melontarkan pertanyaan yang lari dari topik pembicaraan kami.

"Itu tiga tahun yang lalu kan?" sahutku mengingat peristiwa di mana Gibran mengatakan kalau aku ini mirip seperti matahari. Bagi dia akulah mataharinya, padahal sebaliknya dia adalah matahariku.

"Iya, karena mentari itu matahari yang selalu berada di tempatnya. Matahari tidak pernah berlari apa lagi ingkar janji. Bumilah yang berputar mengelilingi matahari dan aku adalah bumi yang mengelilingimu. Bagiku kamu adalah cahaya kebaikan yang dikirimkan semesta kepadaku. Kamu yang paling bawel saat aku ketahuan bolos sekolah. Paling cerewet kalau tahu aku masuk ruang BK. Menasihatiku tentang masa depan yang cerah. Kaulah mentariku miliknya Gibran, yang ke mana pun aku pergi mentari akan selalu bersamaku."

Curang, lalu bagaimana denganku? Aku akan merasa sendirian tanpa dia.

"Tapi kan kalau malam tidak ada mentari?" tanyaku polos.

Dia tersenyum mendengar nada protesku. "Bukan tidak ada, mentari disembunyikan bumi karena mentari pun butuh waktu untuk dirinya sendiri untuk beristirahat. Sendiri bukan berarti kita benar-benar sendirian. Ada doa-doa hangat yang memeluk kita meskipun berjarak milyaran kilometer."

Suara ombak semakin keras, isak tangisku redam di dadanya. Matahari telah mengucapkan salam perpisahannya dengan tragis, membiarkan diriku tenggelam dalam kesedihan. Gibran semakin erat memelukku, menenangkanku agar tangisku reda.

Semesta, hentikan waktu agar Gibran tidak pergi. Biarkan perasaan damai ini tetap berada dalam satu ruang.

Kehidupan sangat kejam. Seluruh semesta alam seperti tiada hentinya memberikan kesedihan. Ayah pergi bersama wanita lain meninggalkan aku dan bunda. Mungkin aku tidak akan terlalu murka jika wanita itu asing. Tapi, kalian tahu siapa wanita yang tega merenggut kebahagianku dalam sekejap? Wanita yang selama ini bagaikan malaikat bagiku setelah bunda dan wanita yang sudah terlanjur dianggap adik oleh bunda. Saat itulah kutahu bahwa orang terdekat bisa memiliki potensi tingkat tinggi untuk menjadi seorang pengkhianat.

Bila kehidupan itu seperti perputaran roda yang akan mengalami siklus yang berbeda, lalu kenapa aku selalu kembali ke tempat yang semula? Setelah kepergian ayah, mau tidak mau beban mencari nafkah harus dipikul bunda. Bunda yang terbiasa menjadi ibu rumah tangga berubah menjadi tulang punggung keluarga sekaligus kepala keluarga. Bunda memutuskan bekerja sebagai TKW di Malaysia. Sejak hari itu aku tinggal bersama nenek dan tumbuh tanpa kedua orangtua yang sangat terpenting dalam hidupku.

***

Bila seluruh siswa bingung memikirkan gaun atau kebaya apa yang dikenakan saat wisuda sekolah, maka aku tampil dengan seragam sekolah. Inilah baju yang terbaik untuk digunakan di hari terakhirmu saat menanggalkan status pelajar. Tidak perlu repot bangun pagi-pagi merias diri dengan make-up yang tebal. Lagi pula ini bukan acara pergi kondangan apalagi acara pernikahanmu.

Menjadi dirimu yang berbeda saat mengucapkan salam perpisahan kepada guru dan teman-temanmu, rasanya seperti kamu bersembunyi di balik topeng. Pengecut. Jadilah dirimu apa adanya, seperti biasanya, tak perlu dipaksa jika tidak nyaman. Lalu, aku sama sekali tidak nyaman mengenakan gaun atau kebaya itu.

"Maaf, Bunda tidak sempat membelikan Embun kebaya," ucap Bunda merasa bersalah karena tidak membelikan gaun atau kebaya untukku. Maklum saja, Bunda baru tiba tengah malam dari Malaysia.

Oya, Bunda pulang setelah enam tahun di Malaysia untuk menghadiri acara wisuda sekolahku. Iya, kabar baik selalu diiringi dengan kabar buruk. Bunda sudah pulang kemudian Gibran yang sebentar lagi pergi. Apakah semua hal di dunia ini harus memunyai keseimbangan? Bahagia dengan sedih. Sembuh dengan sakit.

"Bunda, Embun tidak minta dibelikan kebaya kok." Aku berusaha menenangkan hati bunda bahwa itu bukanlah masalah besar bagiku. Toh, aku juga tidak membutuhkannya.

"Tapi, kan..."

Aku menyela ucapan bunda, "Bunda kalau Embun mengenakan kebaya repot rasanya. Embun jadi tidak bebas bergerak ke sana- ke mari."

"Lagi pula Mentari itu udah cantik kian, Bunda. Tidak perlu dipermak sedemikian rupa lagi," timpal Gibran sambil mengunyah sarapan nasi goreng di mulutnya.

Entah kenapa bagaikan tombol otomatis pipiku akan memerah sendirinya setiap kali Gibran mengatakan aku cantik. Padahal aku masih kesal sama dia. Lagi dalam masa merajuk. Sudah dua minggu ini aku sengaja mendiamkannya. Dan hari ini dengan tak tahu dirinya dia datang begitu saja sarapan pagi bersamaku.

Dahi Bunda langsung mengernyit kebingungan mendengar Gibran menyebut diriku Mentari.

"Mentari adalah nama panggilan khususku buat Embun," jelas Gibran yang cepat tanggap akan kediaman Bunda. Bunda pun mengangguk mengerti. "Soalnya Embun itu sepanas matahari kalau lagi marah, bisa terbakar kalau dekat-dekat."

Gibran langsung menutup kepalanya untuk melindungi rambutnya dari jambakanku. Baiklah kalau tidak bisa mendapatkan rambutnya, telinganya pun jadi. Tanganku langsung menjewer telinganya. Dia berteriak menahan kesakitannya.

"Benar kan Bunda? Embun galaknya kayak matahari." Adu Gibran.

"Sudah...sudah... kalian ini seperti anak TK saja. Kalian ini memang benar-benar aneh." Bunda geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami yang super aneh.

"Iya Bunda. Biarkan aku dan Gibran jadi alien di sekolah, Bunda," sahutku.

"Lalu nantinya orang-orang akan tersihir deh oleh kami berdua," timpal Gibran.

"Dasar aneh. Tadi berlawanan sekarang bersekutu," ujar bunda.

"Aneh itu keren, Bunda," jelas Gibran. "Kami kan pasangan terkeren di sekolah," lanjut Gibran.

Benar semua mata menatap Gibran dan aku seakan-akan kami ini adalah makluk tersesat yang turun ke bumi. Namun, seperti biasanya baik aku maupun Gibran tidak pernah ambil pusing atas komentar nyinyir yang mereka lontarkan. Toh, ini adalah dunia Mentari dan Gibran yang tidak akan pernah bisa terusik oleh siapa pun.

Semuanya berjalan sebagaimana semestinya. Acara wisuda sekolah berakhir dengan sukses. Gibran menutup acara dengan pembacaan puisinya. Akh, yang tentunya luar biasa. Gibran dan aku memang suka sekali menulis puisi di mana pun. Hampir semua sisi sekolah ada jejak kami. Di tembok, meja, bangku, pohon, kantin, perpustakaan dan berbagai tempat lainnya di lingkungan sekolah.

"Selamat datang masa dewasa. Apa kabar perempuan dewasa bernama Mentari."

"Buruk."

"Kenapa buruk?"

"Karena Gibran sudah tidak ada di sini."

-----bersambung-----

Jujur, saat saya kembali mengedit bab ini saya merasa enjoy. Saya juga makin greget aja sama sikap Gibran yang memberikan harapan, nyatanya tetap memberikan rasa kecewa sama Mentari. Kalian merasain hal yang sama gak?

Kalian juga sangat dipersilahkan buat mengeluarkan semua unek-unek yang kalian pendam entah terhadap tokohnya atau sama authornya yang suka bikin kalian menunggu. Pliss... gunakan bahasa yang baik dan sopan. Karena kata-kata lebih tajam daripada pisau belati.

Kalian juga sangat diperbolehkan buat share Peta Kata kepada keluarga dan teman-teman kalian.
Insya Allah, besok malam bab 2 siap meluncur di sini. Tungguin ya.
Sampai jumpa.
^_^

Peta Kata [Revisi]Where stories live. Discover now