1. ^Prolog: Kepergian^

876 227 25
                                        


Hai, apa kabar? Saya harap kalian dalam keadaan sehat-sehat saja. Saya kembali bukan untuk melanjutkan, tapi memulai awal yang baru. Jadi banyak hal yang baru yang bakalan kalian temukan di sini.

Oya, silahkan divote dan follow dulu sebelum membaca biar dapat notif setiap kali update.
^_^

.

.

.

.

.


"Masih mendiamkanku? Yakin, nggak mau bicara denganku?" tanyanya memastikan. Dia masih berusaha membuka pembicaraan yang sama sekali tidak ingin kubahas.

Kenapa dia tidak peka sekali sih?

Semesta, suruh dia diam. Saat ini aku tidak mau mendengarkan apa pun perkataannya. Karena aku yakin apa pun kata-kata yang akan keluar dari bibirnya pasti semakin membuat hatiku sedih.

Matahari bergelayut indah di kaki langit memesona siapa pun yang memandangnya. Aku dan dia duduk di bibir pantai beralaskan pasir putih dengan menyandarkan kepalaku di bahunya yang lebar. Kata Gibran perpaduan embusan angin dengan debur ombak adalah alunan melodi paling romantis, tetapi bagiku suara miliknyalah yang paling romantis. Namun, untuk sore ini aku ingin dia diam saja. Biarkan kali ini aku mendengar suara detak jantungnya dan bisikan alam semesta.

"Me, aku tidak akan ke mana-mana. Di mana pun aku berada. Aku selalu bersamamu." Dia memulainya dengan suara lirih sekaligus menegaskan sembari tangan kanannya mengelus pucuk kepalaku yang diterpa angin. Dia suka sekali memanggilku Me awalan kata dari Mentari. Padahal namaku bukanlah Mentari. Aneh. Dia memang orang teraneh yang menyenangkan sekaligus menyebalkan.

Aku memejamkan mata berusaha menekan segala rasa kesal yang dari semalam ditahan. Tapi, percuma mau disembunyikan bagaimana pun dia bakalan terasa. Siapa bilang dia manusia tidak peka? Malah sebaliknya dia itu perasa paling hebat. Seperti mesin pendekteksi kebohongan dia bisa tahu kalau aku sedang berbohong.

Andai aku seperti Nobita yang bersahabatan dengan Doraemon, aku akan akan meminta alat penghenti waktu supaya aku tak pernah kehilangan momen ini, agar dia tetap di sini. Namun sayangnya, tidak ada gunanya dari kata berandai-andai. Dia paling benci kalau mendengar aku mengucapkan kata seandainya. Untuk apa mengkhayal kalau kamu sampai lupa menikmati waktu yang kamu miliki saat ini apalagi sampai mengabaikan apa yang berada di dekatmu.

"Me, kok diam?" tanyanya.

"Lalu aku harus bilang apa?" ucapku kesal.

"Sejauh apa pun aku pergi. Langkah-langkahku akan selalu beriringan denganmu."

Bohong, dia pembohong paling ulung bila nyatanya dia akan tetap pergi meninggalkanku.

"Mentari, lihat aku," ujarnya memohon. Kalau dia sudah memanggil Mentari artinya dia lagi serius.

Aku malah membenamkan wajahku di dadanya. Aku belum mau melihat kedua bola mata birunya yang selalu membawa ketenangan itu untukku. Biarkan kali ini kepalaku sekeras karang. Aku tidak mau luluh dan kalah darinya.

"Ikut, aku mau ikut ke mana pun itu kamu pergi," ucapku memohon dengan nada sendu, berharap dia mau mengambulkan permintaanku. Walaupun kemungkinan besar permintaanku bakalan ditolaknya.

"Tidak bisa, kamu harus tetap tinggal di sini. Kuliah dan menjadi seorang dokter," ucapnya lembut, tapi sama sekali tidak bisa melembutkan hatiku. Itu kan benar tebakanku. Dia menolaknya.

Peta Kata [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang