Prolog

139 14 4
                                    


Seharusnya aku duduk manis di kelas, menyibukkan diri dengan catatan dan mengulang materi. Tapi sekarang aku malah duduk disini- diatas kloset yang sudah tertutup- sambil tertunduk lemas karena tidak tahu harus melakukan apa. Kakiku sedikit gemetar, sedangkan ujung bibir kugigit untuk menahan sakit di sekitar perut dan punggung.

Duh, ngapa kudu dadakan gini, sih?

Sialnya aku tidak membawa 'itu' benda yang bisa menyelamatkanku di kondisi ini. Aku hanya bisa pasrah, merasakan sesuatu yang keluar dari dalam, membuat rok putih yang kukenakan mulai basah. Tanpa harus kuperiksa, aku bisa membayangkan noda merah itu menyebar pada bagian belakang rok membentuk sebuah pulau. Rasanya ingin menangis sekeras-kerasnya.

Kurang lebih dua jam aku disini memboloskan diri menahan rasa nyeri, karena mustahil jika aku keluar dalam keadaan begini. Tidak ada yang bisa kuharapkan disaat seperti ini untuk menolongku. Aku terlalu malu. Lebih baik aku menunggu disini sampai pulang supaya tidak ada satu orang pun yang melihatku.

Tok, tok, tok.

Sontak aku menarik kakiku ke atas, setengah memeluk lutut karena terkejut.

Tok, tok, tok.

Pintu bilik toilet ini diketuk lagi lebih brutal, tapi aku tidak berani bergerak dan membuka suara.

"BILA!"

Ah, shit. Jangan bilang bocah itu menyusulku ke toilet.

"EH GUE TAU YA LO ADA DI DALAM!"

Tubuhku mematung di dalam, sebelum akhirnya kulihat ada sesuatu yang masuk ke dalam bilik toilet ini. Asalnya dari celah bagian atas pintu.

"Nih, ambil."

Dia menyodorkan pembalut dan aku mengambilnya dengan ragu.

"Kalo udah selesai, langsung keluar. Gue tungguin. Kalo lo masih dokem didalem, gue dobrak pintunya sampe lo keluar," ujarnya lagi terdengar sedikit mengancam.

Setelah memakainya aku cuma bisa pasrah melihat keadaan rok sekolahku sendiri, sebelum menyentuh gagang pintu bilik dengan gemetar. Tepat ketika pintu terbuka, aku melihatnya bersandar di tembok sambil memasukkan sebelah tangan ke saku celana. Ada keringat di pelipisnya, rambutnya juga sedikit berantakan. Bahkan seragam sekolah yang sedang dia pakai sekarang sudah dipenuhi oleh keringatnya.

Kedua matanya menatap tajam ke arahku yang masih terdiam. "Lo duluan aja. Lagian ngapain sih lo masuk toilet cewek segala," ucapku sedikit ketus.

"Kalo gue ga dateng mau sampe kapan lo disini? Muka lo pucet banget tuh. Gue anterin ke UKS ya?" Terlihat jelas diwajahnya yang sok judes itu sedikit mengkhawatirkanku.

"Nggak, ah."

Dia menarik tanganku, tapi aku masih menolak.

"Jangan maksa dong, jir."

"Lo kenapa, sih? Jangan bikin gue bingung deh, jir."

Tidak mungkinkan kalo aku harus berterus terang mengatakannya. Tapi kalo nggak bilang dia pasti bakal terus-terusan maksa aku buat keluar.

"Anu..."

Dia mengangkat sebelah alisnya, kemudian menyadari tanganku yang sedaritadi di belakang untuk menutupi noda itu. Sepertinya dia sudah paham kenapa aku masih kekeh tidak mau pergi dari sini.

"Lo tunggu sini, ya. Gue balik ke kelas buat ambil jaket, cuma sebentar kok," ucapnya yang langsung berlari kembali kelas.

Demi Tuhan! Malu banget, dia melihat kondisiku yang sangat menjijikkan seperti ini. Bahkan aku tidak pernah memperlihatkan noda darah ketika aku tembus pada teman perempuanku. Tak lama kemudian dia kembali lagi sambil membawa jaketnya. Kedua tangannya melingkar di sekitar pinggangku memakaikan jaket itu, lalu mengikatnya disana untuk menutupi bercak darah yang sudah ku sembunyikan sedaritadi.

"Makanya kalo ada apa-apa tuh bilang!" Omelnya.

"Gue kirain lo bolos ga balik-balik ke kelas. Di spam chat, di telpon ga diangkat-angkat, ga taunya hp lo tinggal coba kalo gue ga tanya sama Naomi? Gue tuh..."

"Dahlah males."

"Pokoknya jangan sendirian lain kali!"

Aku hanya bisa menunduk sambil memainkan kaki kananku. "Ya, masa gue minta temenin lo sih?"

"Selama ini lo anggep gue apa? Hahhhh!" Suaranya terdengar dramatis.

"Woi... Serius, jir."

Dia menghela nafas panjang. "Kita tuh temen udah dari jaman Meganthropus jadian sama Pithecanthropus. Jadi udah tugas gue buat nemenin lo kapanpun disaat lo butuh gue," ucapnya.

"Ga usah sebut-sebut nenek moyang lo."

"Menyenyenye."

"Kok lo bisa punya pembalut?" Tanyaku memicingkan mata padanya.

"Oh... Itu gue betak punya Naomi." Suaranya terdengar santai merasa itu bukanlah sebuah dosa.

"Dahlah mending lo balik aja ya? Biar gue urus surat izin pulang lo ke meja piket," ucapnya lagi sambil menggenggam tanganku erat.

Caranya menarik tanganku selalu tegas dan seakan melindungi, seolah ketika bersamanya tidak ada yang perlu di takutkan lagi. Mendadak dia menjadi cowok yang manis. Sikapnya seperti ini sangat bertolak belakang dengan sosok yang kukenal akhlakless.

Cowok dengan tinggi kurang lebih 180 cm yang tidak pernah malu mengaku dirinya ganteng. Kedua matanya yang sipit memiliki tatapan mengintimidasi dan hangat. Rambutnya yang sedikit panjang selalu menjadi target ketika aku sedang kesal padanya. Cowok yang merasa memiliki punggung selebar dunia sehingga selalu menyuruhku untuk bersandar padanya. Hobinya mukulin orang yang ada di dekatnya kalo lagi ketawa. Cowok yang selalu bawel, rese, konyol dan berisik alias bacot banget ketika bersama denganku. Ya, dia sahabatku, Linmo.

JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN KOMENNYA^^AKU MAU TANYA KALIAN LEBIH SUKA BACA CERITAKU PAKE SUDUT PANDANG ORANG PERTAMA ATAU KETIGA?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN KOMENNYA^^
AKU MAU TANYA KALIAN LEBIH SUKA BACA CERITAKU PAKE SUDUT PANDANG ORANG PERTAMA ATAU KETIGA?

Perfect FriendWhere stories live. Discover now