XXXII. Kematian Marta

1.4K 211 18
                                    

Jeny mendapat kabar melalui handphone bahwa Marta meninggal di rumah sakit. Seisi grub kelas sibuk menggosipkan kematian Marta yang janggal dan aneh. Banyak yang menduga itu ulah pembunuh. Sementara Keluarga Marta membawa kasus ini ke pihak berwajib. Sekolah sementara di liburkan. Untuk dua hari ke depan.

Jeny tak tinggal diam. Ia segera keluar kamar untuk menyambung konfrontasi Galang yang terputus kemarin. Ketika di temuinya, Galang tengah duduk dengan tatapan mata tertuju layar komputer. Pria itu mengenakan kacamata dan tangannya memainkan mouse.

"Galang."

"Hm."

"Tidakkah kau merasa kejam?"

Galang menengok dari bahunya. Alisnya menukik sebelah.

"Apakah kau tau Marta meninggal?"

"Tau."

"Dan kau santai-santai bermain komputer sementara temanmu sedang berkabung?"

"Ternyata kau lebih egois dari yang ku duga."

Dapat didengar Jeny, Galang sengaja menghela napasnya dengan keras. Laki-laki itu tanpa menjawab Jeny, berbalik menatap komputernya lagi.

"Galang!"

"Apa lagi?"

"Kau ini tidak punya hati ya?"

"Ya!"

Jeny bungkam setelahnya. Ia mengepalkan tangannya. Mengerat kuat. Seiring matanya yang mulai berembun.

"Kau tau? Aku ketakutan dan merasa bersalah. Hatiku tidak tenang. Karena aku merasa kematian Marta ada bagian andil dariku. Aku merasa berdosa. Dan berandai-andai seharusnya aku melakukan cara lain bukan cara itu. Atau menunggu mimpi Luna saja tanpa harus mengorbankan nyawa seseorang. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Semua sudah terjadi bahkan belum sehari dari konfrontasi Marta. Pelaku itu bergerak lebih pintar dan cepat dari ku pikir. Dia seolah bisa melihat dari segala tempat. Sementara kita kesana-kemari menuduh orang yang salah dan pelaku itu tertawa di seberang tempatnya melihat. Inilah yang ku takutkan, kita ini bodoh dan karena kebodohan ini berapa nyawa lagi harus mati karena ketidaktahuannya." Ia mendongak ke atas mencegah air mata yang hampir menetes. Meraup oksigen sebanyak-banyaknya kemudian berlalu meninggalkan Galang sendirian.

Galang mencopot kacamata. Meletakkan di atas meja. Punggungnya menyandar ke kursi dan kepalanya bertopang pada leher kursi. Mendongak menatap atapnya dengan sorot lelah.

Ada yang tak terlihat oleh Jeny. Layar yang tertampil di komputer dan kertas-kertas berserakan di atas meja Galang. Semua berkaitan kasus Marta. Rekaman CCTV sekolah, scanan daftar absen guru, dan lain-lain. Galang tak berniat menjelaskan. Karena percuma, ini semua hanya draf mentah yang ia ambil serampangan. Jika disini tidak ada bukti yang mengarah ke kasus Marta, maka Jeny akan mengeluarkan ocehan yang lainnya. Ini membuatnya pusing. Belum lagi kata-kata Jeny yang menusuk. Hatinya tertohok. Dan ia juga sadar, Jeny menahan tangis di belakangnya. Galang kembali menarik napas panjang, entah yang ke berapa di hari ini.

Selama libur, Galang dan Jeny masih terlibat aksi diam-diaman. Meski seringkali mata mereka kerap bertemu pandang. Memasuki hari skeolah, Jeny seperti biasa ikut pergi sekolah dengan mobil Galang. Walau aura keheningan begitu kentara sekali disana.

Jeny bergegas membuka pintu dan mengucapkan kata terima kasih sambil lalu. Galanh memandang kepergian Jeny dengan helaan napas.

Jam istirahat sekolah yang biasanya ramai karena siswa sekarang semakin bising akibat kehadiran beberapa polisi yang masuk ke kantor guru. Beberapa menit kemudian Guru Meli terlihat dikawal oleh barisan kepolisian hingga masuk ke mobil polisi.

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Where stories live. Discover now