XXVIII. Manusia Patung

1.7K 278 12
                                    

Seorang gadis berjalan terburu-buru. Melihat sekeliling dengan waspada dan tangannya mengerat pada tali tas. Ia membuka gerbang dan menoleh sekilas ke belakang. Bangunan sekolah itu tampak menyeramkan saat petir dan hujan berjatuhan detik ini. Ditambah gelap serta malam yang menjelang menjadikan bangunan itu nampak mengerikan. Ia menunduk ke bawah. Sejenak benaknya meragu untuk melangkah. Ditolehnya lagi ke belakang. Matanya memejam. Tidak. Tidak. Kepalanya menggeleng. Ia mengambil langkah keluar. Dan hampir berteriak, menghentikan tubuhnya tepat waktu sebelum menabrak seseorang didepannya.

"Galang?"

"Kau melihat Luna?"

Ia menggigit pipi dalamnya.

"Marta, kau melihat Luna?" Ulang Galang ketika Marta hanya diam.

"Aku ..."

Galang menoleh ke sekitar. Sudah gelap. Telponnya masih mendial Luna namun hanya nada sambung menjawabnya untuk ke sepuluh kali.

"Aku mencari Luna sejak tadi, tapi dia tidak ada. Katanya dia menunggu di depan gerbang. Jadi aku mengitari sekolah dan jalan keluar, namun tetap tidak ada. Apa dia masih didalam?"

Marta melirik ke kiri lalu ke bawah. Ia menggigit bibir.

"Tidak, aku ... tidak tau."

"Ok." Galang mengangguk. Ia menatap ke depan. Melewati Marta.

"Kau mau kemana?" Seru Marta cepat.

"Masuk, " Galang mengendikkan dagunya ke gedung sekolah, " aku akan mencari Luna di dalam."

"Dia tidak ada didalam."

Alis Galang mengernyit, "Darimana kau tau? Bukannya kau tidak tau dia dimana."

Marta menunduk. Menggigit bibirnya lagi. Sungguh, saat itu dingin sekali. Ditambah angin yang berhembus kencang. Tapi ia tidak merasakan dingin sama sekali. Justru tangannya berpeluh hangat. Dengan degub jantung berdebar-debar. Ketakutan, cemas dan egois yang saling bertolak belakang.

"Aku ..." Marta menarik napas terasa menyakitkan, " melihatnya pulang."

"Oh, ok. Ya sudah, aku akan ke kosannya. Mau ku antar pulang? Pak Giono tidak menjemputmu?"

Marta menggeleng. Mengikuti langkah Galang. Menerima uluran helm dari Galang. Naik ke atas motor. Galang dan dirinya meninggalkan sekolah. Sementara pikirannya masih bercabang-cabang.

"Galang."

"Ya?"

"... Antar aku ke kantor polisi."

Galang menatap dari spion, "Buat apa?"

Tidak ada jawaban. Ia merasakan Marta mencengkeram erat ujung jaketnya. Ketika lampu merah. Galang menengok ke belakang dan didapatinya. Wajah Marta menunduk dan terisak menangis dalam helm. Galang kembali ke depan saat lampu lalu lintas berganti hijau. Ia menepuk dua kali punggung tangan Marta untuk menenangkan. Entah apa alasan gadis itu menangis.

***

Jeny terbangun untuk kedua kali di mimpi yang sama. Di lorong sebuah rumah yang besar dan pencahayaan redup. Lukisan-lukisan muram dan kelam terpasang di dinding lorong. Hanya canvas hitam dan putih namun gambar-gambar dalam lukisan itu membangkitkan bulu kuduk Jeny. Ia baru kali ini melihat lukisan semengerikan itu. Gambar-gambarnya sangat anarkis dan bertema kekerasan serta pembunuhan. Ada lukisan sebuah pohon dan kepala yang digantung didahan pohon itu. Seseorang yang terbaring namun kedua matanya tertusuk gunting. Lalu seorang yang tengkurap di atas loteng tetapi sebuah gergaji menembus dari perut hingga punggungnya. Dan lain-lain, yang tidak sanggup Jeny lihat.

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang