Chapter 13 - Gamang

Start from the beginning
                                    

Pagi cewek langka, gue udah di depan rumah lo.

Stevlanka membelalakkan matanya. Ternyata itu adalah pesan dari Ardanu. Stevlanka menghela napas, melirik Ayahnya. Mungkin akan lebih baik berangkat bersama Ardanu, daripada dengan Ayahnya. Stevlanka meraih segelas susu, lalu meminumnya tidak sampai habis. Ia meraih ranselnya dan beranjak dari duduk. Satriya mendongak menatap Stevlanka.

"Vla berangkat sama Ardanu." Stevlanka tidak membutuhkan jawaban, ia berjalan menjauhi meja makan.

"Ayah membiarkan kamu berhubungan dengan Ardanu, tapi bukan berarti kamu menjadi seenaknya, Stevlanka." Satriya membuat langkah gadis itu yang belum jauh dari meja makan terhenti. Ia membalikkan badannya menatap Ayahnya.

"Kamu semakin jauh dan kamu nggak menghargai Ayah."

Stevlanka tersenyum meremehkan. "Memang sejak kapan Stevlanka dekat sama Ayah? Dan gimana caranya Stevlanka menghargai Ayah, kalau Ayah nggak pernah menganggap Stevlanka sebagai anak Ayah." Ia menghela napas. "Oke ... Vla ngerti, Vla udah beberapa kali mencoba untuk dekat, tapi Ayah sendiri yang ngasih jarak. Jadi, Vla harus apa?"

Ayahnya diam, menatapnya marah.

"Kamu bisa apa tanpa Ayah? Kalau aja bukan karena Ayah mungkin sekarang kamu ada di—" Ayahnya menahan kalimatnya. Wajahnya sudah memerah. "Baiklah, lakukan sesuka kamu."

Stevlanka mengepalkan tangannya. Ia tidak mengatakan apa pun untuk membalas ucapan Ayahnya. Ia memilih untuk beranjak dari sana. Membanting pintu utama. Saat melangkah melewati gerbang, ada Ardanu yang tengah bersandar di samping mobil.

"Hai, cewek langka," sapa Ardanu tersenyum lebar.

"Kemarin malam bokap lo marah, nggak?" tanya Ardanu. Ia menautkan alisnya, melihat Stevlanka menundukkan kepalanya. Kemudian Ardanu mengangkat dagu Stevlanka. Ardanu melebarkan matanya melihat wajah Stevlanka memerah menahan tangis. Matanya berkaca-kaca terlihat begitu sendu.

"Vla ...."

Stevlanka menepis tangan Ardanu. "Lo ke sini mau jemput gue, kan?"

Ardanu mengangguk dua kali.

"Berangkat sekarang."

Ardanu memiringkan kepalanya. Melihat Stevlanka yang kini sudah memasuki mobil.

*****

Stevlanka duduk di bangkunya saat jam istirahat. Hanya ada dirinya di dalam kelas. Ia sempat ke kantin bersama Cantika. Tetapi, karena Cantika harus berkumpul dengan teman-teman dance-nya, Stevlanka memutuskan untuk kembali ke kelas. Menghela napasnya berkali-kali. Ternyata kehadiran Cantika cukup membantu Stevlanka sedikit merasa lebih baik. Cerita konyolnya mampu membuat Stevlanka tertawa.

Sekarang saat dirinya kembali sendirian, keheningan kembali menyiksanya. Membawanya ke kubangan kepedihan.

"Kamu bisa apa tanpa Ayah? Kalau aja bukan karena Ayah mungkin sekarang kamu ada di—"

"Rumah sakit jiwa?" gumam Stevlanka, pandangannya kosong. Ia merasa lelah. Menyurukkan kepalanya pada lipatan tangannya di atas meja.

Cantika berjalan gontai seraya melihat wajah pada cermin kebangsaannya. Ketika memasuki kelas, ia terkejut melihat Stevlanka dengan posisinya. Ia berlari kecil menghampiri Stevlanka. Kehadiranya membuat Stevlanka menegakkan tubuh. Ia merapikan rambutnya, tersenyum pada Cantika.

"Udah balik?" tanyanya.

"Lo kenapa? Sakit?"

"Gue nggak papa."

Cantika memasang wajah kesal. "Lo tuh selalu bilang kalau lo nggak papa, tapi sebenarnya ada apa-apa. Lo bisa, nggak, sih, tebuka sama gue?"

Stevlanka terdiam menundukkan kepalanya seraya tersenyum. Stevlanka hanya terbiasa sendirian, tanpa membagi apa yang ia rasakan pada teman—lebih tepatnya tidak memiliki teman. Bukannya Stevlanka tidak menghargai kepedulian Cantika, hanya saja ia malu untuk menceritakan apa yang mengganggu pikirannya. Stevlanka tidak mampu mengakui jika ia memang menyedihkan.

DELUSIONSWhere stories live. Discover now