01. Pertama Kali

128 32 5
                                    

"Pandangan pertama yang membuat gila."

****

Mata kuliah siang ini sudah selesai. Para mahasiswa jurusan musik tampak berbondong-bondong keluar dari ruang kelas yang terasa seperti neraka. Yang paling tidak anak musik sukai yaitu, satu jam pelajaran semuanya hanya teori. Padahal jika satu jam full praktek, mereka juga tidak akan keberatan sama sekali. Malahan senang karena tidak mendengar penjelasan teori yang bikin pusing kepala.

Seorang gadis dengan kemeja flanel kotak-kotak berwarna hitam tampak menghela napas kasar. Gadis itu bersandar di tembok dekat ruang kelas dengan wajah lesunya, celingukan mencari seseorang yang tak lain adalah temannya. Nasib memiliki otak yang cetek ya seperti ini, teman-temannya mengambil jurusan hukum atau ekonomi, sedangkan dirinya jurusan musik.

Awal mula gadis itu menyukai musik, karena ayahnya juga seorang pemusik. Namun, sekarang sangat sibuk mengurus banyak bisnis yang gadis itu sendiri juga tidak tahu. Katanya sih bisnis pertambangan dan juga restoran. Tapi ia juga pernah mendengar bahwa ayahnya juga membuka tempat les musik.

Rasanya tak adil sekali, orang lain sudah tahu bagaimana keadaan tempatnya, tapi ia sendiri bahkan tidak tahu seperti apa wujud tempatnya. Ayahnya tidak pernah mengajaknya ke tempat itu, hanya mengatakan bahwa, "Besok kalo kamu udah jago main musiknya, ayah pasti bawa kamu ke sana." katanya sih.

Tapi kapan? Ini juga baru awal semester, belum juga ada setahun ia berkuliah di sini. Ayahnya memang senang sekali membuatnya merasa penasaran. Bukan sekali dua kali, tapi hampir setiap kali ketika ia bertemu dengan ayahnya.

Iris, lebih tepatnya Iris Meganta. Kalau kata orang sih, gadis itu sangat sombong. Wajahnya selalu datar dan ucapannya selalu nyelekit pada siapapun. Termasuk pada kedua teman dekatnya.

Iris sih biasa saja dianggap sombong oleh semua orang, karena itu juga bukan urusannya. Mereka boleh menilai Iris sesukanya, Iris tidak akan protes sedikitpun. Padahal sih, Iris hanya tidak peduli pada sekitarnya, bukannya sombong pada mereka.

Beberapa bulan berlalu, mereka semua mulai paham dengan gadis itu. Iris hanya tidak senang menyapa lebih dulu. Kalau ada orang yang menyapa pada Iris, pasti gadis itu akan membalasnya. Selebihnya Iris tidak akan peduli pada sekitar.

Sifat Iris itu sangat random. Belakangan ini gadis itu seperti memaksakan diri mengikuti lomba stand up komedi, tapi kedua temannya selalu melarangnya. Mereka tidak pernah percaya dengan hal baru yang akan gadis itu coba. Mereka juga tidak mau menanggung malu karena sikap random dari Iris.

Kalau diperhatikan lagi, sekarang Iris jauh lebih ramah pada semua orang. Entah gadis itu tengah dirasuki oleh roh halus, atau semacamnya. Atau memang itu adalah sifat asli dari gadis itu sediri.

Tubuh Iris merosot ke lantai. Kakinya terasa pegal karena sedari tadi berdiri di sana. Sementara kedua temannya masih belum datang juga. Padahal kata mereka, pukul dua siang akan ke kelasnya.

"Nggak lagi-lagi gue percaya sama mereka."

Iris menggeleng kesal, lalu menguap lebar. Gadis itu bersandar sembari menggigit coklat silver queen yang sempat gadis itu rampas dari tas kakaknya.

"Ya Alloh, Ris. Lo ngemis?"

Lenora Zenaide. Mahasiswi jurusan hukum yang begitu mengidolakan sosok Alvar. Katanya sih, pesona Alvar Megantara begitu menggoda iman. Sudah hampir setengah tahun gadis itu mengagumi Alvar. Tapi sampai saat ini, Lenora masih menjadi pengagum rahasia. Tidak ada kemajuan apapun sejak pertama kali melihat sosok Alvar dan sampai saat ini.

MAHESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang