"Dewi itu anaknya Om Pris yang nomor dua. Deket banget sama Irshad. Dia juga kecil manis sama kayak kamu gini," ujar nenek Mas Irshad pelan.

Lalu Mas Irshad berinisiatif melakukan Videocall dengan Dewi. Mas Irshad terlihat tersenyum lebar ketika berbicara dengan adik sepupunya itu. Mereka terlihat dekat dan hangat.

Aku harap kelak kami bisa lebih dekat dari itu.

"Lho Shad udah kamu tutup? Kok nggak sekalian kenalkan calon istrimu ke Dewi biar dia tau calon mbaknya."

"Dewi tadi ada teman-temannya Mbah, nanti juga pasti ketemu kan."

Aku merasa Mas Irshad sama sekali tidak ada usaha untuk membuatku merasa dekat dengan keluarganya ini. Jujur itu cukup membuatku kecewa. Tiba-tiba terlintas di pikiranku, apakah sudah tepat aku memilihnya untuk menjadi suamiku. Aku takut sekali dengan pikiran buruk yang saat ini terngiang dalam pikiranku. Mungkinkah ini adalah bagian dari ujian menuju pernikahan?

"Shad, kamu udah ada ide belum buat souvernirnya?"

Mas Irshad menggeleng.

"Belum Om Pris, lagian masih sekitar empat bulan lagi."

"Empat bulan itu cepet lo Shad. Kalau udah jalan nggak bakal kerasa."

Ah, benar juga. Empat bulan lagi aku akan menikah.

"Kalau kemarin temannya Devi sama Endra yang dokter itu nikah souvernirnya termometer. Nanti kalau kamu, kasih aja oli Pertamina satu-satu ya Shad hahaha."

"Ya jangan dong Om, tekor di aku nanti. Itu satu aja harganya udah berapa."

Setelah keluarga dari Blitar dan nenek berpamitan pulang kini menyisakan aku dan Mas Irshad berdua di ruang tamu. Kami hanya duduk diam dengan ponsel masing-masing. Bukankah ini sama sekali bukan layaknya pasangan yang akan menikah?

"Mas, aku kok ngerasa..."

"Lhoh mama kok udah pulang aja?"

Belum selesai aku melanjutkan ucapanku tiba-tiba calon ibu mertuaku datang. Padahal tadi aku ingin bilang kalau hubunganku dengannya terasa aneh, aku ingin mengajaknya berdiskusi tentang ini. Sebelum semuanya terlambat.

"Ini mau ambilin mukena buat Atsna nanti kalau sholat."

Ibu Mas Irshad berjalan ke dalam, lalu tak lama lagi keluar.

"Mukenanya sudah ibu taruh di tempat sholat ya sayang. Nanti minta Mas Irshad kasih tau di mana tempatnya. Nggak usah sungkan-sungkan, sebentar lagi ini kan juga jadi rumah kamu.."

"Iya Bu.."

"Le, itu adeknya diajak maem dulu."

"Iya Ma.."

"Nduk, ibu tinggal dulu ya.. masih ada tamu di rumah budhe."

Selesai sholat, aku dan Mas Irshad di meja makan. Mas Irshad mulai meletakkan piring dan lauk pauk di meja makan.

"Kok makannya dikit banget? Ayo ditambah lagi."

"Enggak mas, aku tadi sebenernya udah makan di sekolah."

Lalu kami kembali hening sibuk dengan makanan kami masing-masing. Aku merasa kami seperti dua orang asing yang dipaksa duduk dalam satu meja.

"Budheku yang meninggal itu deket banget sama aku. Tiap pagi sebelum aku kerja beliau pasti minta tolong aku buat nensi kalau nggak gitu cek gula darah," ujar Mas Irshad tiba-tiba.

"Budhe memang sudah lama sakit, tapi aku tetep nggak nyangka bakal secepat ini. Padahal dia pengen liat aku nikah.."

Dengan refleks aku menyentuh tangannya pelan, lalu menggenggamnya. Ia menatapku, lalu aku tersenyum.

M A R R I E D ?  ?  ? Where stories live. Discover now