03. Dirga dan Keistimewaannya

334 197 215
                                    

"Lantas, untuk apa Aku menunggumu jika Aku tidak serius?" -Pradirga

°

°

°

°

Di dalam ruangan yang terlihat seperti ruang isolasi laki-laki itu meringkih sendirian --sembari memohon kepada Tuhan agar rasa sakit yang dirasanya segera berlalu.

Ia meraung dan menjerit sejadi-jadi nya, sementara lengannya setia menutupi kedua telinganya yang terasa sakit bukan main. Kini wajahnya sudah pucat pasi, bahkan keringat dan air mata terus mengalir seakan tak mau berhenti. Anak itu terlihat seperti yang sedang mengalami tantrum.


(*Tantrum= adalah ledakan emosi, biasanya dikaitkan dengan anak-anak atau orang-orang dalam kesulitan emosional, yang biasanya ditandai dengan sikap keras kepala, menangis, menjerit, berteriak, menjerit-jerit, pembangkangan, mengomel, marah, resistensi terhadap upaya untuk menenangkan dan dalam beberapa kasus, kekerasan.)


"UAKHHHHHHH"

"ARGHHHHH"

"Beri ... sik ...."

"Cukup ... Kumohon, berhenti ...."

"Sakit ...."

Semakin laun semakin lirih suaranya. Entah sampai kapan sakit itu akan menjalari tubuhnya, Dirga hanya merasa sangat lelah sekarang. Suara-suara itu begitu menyiksa baginya.

"Ibu ...."

Sesekali Dirga akan mengelu-elukan Ibunya, berharap ada suatu keajaiban dimana Ibunya akan datang menolong --atau setidaknya tidak membiarkan Dirga menghadapi rasa sakit itu sendirian.

Satu jam seharusnya lebih dari kata cukup untuk Dirga menahan segala nyeri di telinganya. Dia tidak ingin lagi hal seperti ini terjadi, tapi apa daya, Dirga terlahir istimewa.

Di saat orang lain bebas merasakan berbagai emosi, Dirga justru harus di hadapkan dengan rasa sakit seperti ini. 

Satu jam berlalu, akhirnya penyiksaan itu pun berangsur membaik. Dirga mencoba mendudukkan dirinya, menyandarkan tubuhnya kemudian pada dinding --dengan salah satu kaki yang ditekuk ke depan, sementara kaki lainnya berselonjor lurus.

Ia mengusap jejak air matanya. Memijat-mijat pelipisnya yang terasa pening. Dan sesekali menarik napas panjang guna menetralkan kadar oksigen dalam paru-paru nya. Di menit berikutnya, Dirga memejamkan mata dan menenggelamkan wajahnya diantara lututnya yang kini bertekuk sejajar, sementara tangannya yang terlipat di atas lutut dijadikan sebagai bantalan dahinya.

Dirga mencoba untuk menenangkan diri.

Di sisi lain, Elang -teman sekaligus seperti saudara baginya- menunggunya di depan ruangan itu. Laki-laki itu bersandar pada dinding dengan kedua lengannya yang dimasukan kedalam saku celana. Ia memandangi pintu kaca berwarna gelap dihadapannya itu selama hampir satu jam, tanpa berniat untuk beranjak. Elang tahu apa yang sedang dilakukan sahabat karibnya itu di dalam sana, dia mengerti, dia sudah mengenal Dirga sejak lama.

Dirga, dia akan seperti itu jika merasakan suatu emosi -entah itu sedih, marah, atau senang- yang berlebih. Pendengarannya akan menjadi lebih tajam 90 atau bahkan 100 kali lipat dari yang biasanya, setidaknya itulah yang Elang ketahui.

Dirga merupakan seorang tunanetra sejak lahir. Ia hanya mengandalkan indera pendengar dan perabanya sebagai mata pengganti, itulah mengapa kedua indera tersebut jauh lebih tajam dan rentan dari kebanyakan orang normal pada umumnya. Dan karena kemampuan Dirga yang terbilang ajaib tersebut, tak jarang orang menilai Dirga dengan pandangan sebelah mata. Karena dianggap tak logis dan menyeramkan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 14, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

IS NOTHING | NDR [TAHAP REVISI]Where stories live. Discover now