XXXI. Lonely Night

Start from the beginning
                                    

Marta meraba bawah hidungnya dan melihat telapak tangannya ada darah. Lalu menunduk, tetesan-tetesan darah dari hidungnya mengotori rok sekolah. Kebingungan. Ketakutan. Lelah yang tiap detik makin merajam. Dan otot-otot tubuh yang semakin susah di gerakkan. Termasuk untuk berbicara. Meneriakkan kebingungannya. Ia mendongak dan dalam sekejab sekelilingnya sudah penuh. Siswa-siswi disini mengelilinginya dengan beragam ekspresi.

Lala nampak panik dan berteriak pada kerumunan, "Jangan cuman diliat! Panggil guru!"

Sementara Hani melihat sekitar. Memandang orang-orang yang makin mengerubungi mereka seperti semut. Tak ada yang beranjak menuruti perkataan Lala. Tanpa di komando, walau tak mengerti keadaan yang terjadi, dengan raut sangat cemas ia berlari menuju kantor guru.

Ia fokus ke Marta lagi, "Marta, kau dengar aku?"

Marta menatap Lala dengan pandangan mengabur. Tarikan napasnya makin keras terdengar. Detakan jantungnya terdengar hingga ke telinga.

"Ada apa ini?" Pak Adam menyeruak, "Astaga!" Segera Pak Adam membopong Marta menuju parkiran.

"Anton, siapkan mobil!" Seru Pak Adam pada Anton ketua Osis yang datang bersamanya tadi seraya berlari.

Pak Adam berteriak saat dilihatnya Marta akan menutup mata, "Dengar Bapak! Kamu harus tetap sadar. Buka terus matamu!"

Semua kejadian itu tertangkap di retina Jeny. Dan ia baru sadar, sejak tadi dirinya dan Galang masih di posisi yang sama. Lalu matanya tak sengaja menemukan guru Meli berdiri di dekat kelas samping kejadian. Memandang Marta yang dibopong Pak Adam. Yang menjadi heran Jeny, tidak ada ekspresi disana. Cemas? Simpati? Kasihan? Khawatir? Semuanya tak nampak di rupa Bu Meli. Dan matanya memperhatikan gerakan tangan Bu Meli yang terus memutar-mutar cincinnya sembari melihat kepergian Pak Adam beserta Marta. Satu kata, aneh.

Kemudian Jeny berpaling dan bertatapan dengan Galang yang juga menatapnya. Wajah pria itu kaku dan pucat. Ia ingin menghardik Galang namun kata-kata seakan lenyap dari isi kepalanya. Juga Galang yang hanya memandang tanpa bersuara. Mereka terjebak dalam hening sedangkan sekitar mereka bising.

Aksa lewat diantara keduanya. Jeny baru tersadar. Tatapannya mengikuti langkah Aksa yang mendekati tempat Marta berdiri.

"Ada apa kau kesana? Kau tidak ketakutan apa?" Aksa tak bergeming, "Kau menemukan apa?" Tanya Denis menghampiri Aksa melihat temannya mengambil sesuatu didekat bercak-bercak darah Marta.

"Kertas?" Heran Nuha begitu melihat Aksa memegang dua helai kertas kecil.

"Galang, cepat kesini!" Serunya.

Galang berdeham pelan. Ia mendatangi teman-temannya. Di belakangnya Jeny mengikut.

"Kenapa aku merasa ini percobaan pembunuhan?" Terka Denis lalu mengamati temannya satu-persatu.

"Dilihat dari gejala Marta dan kertas kecil putih yang hurufnya diketik menggunakan mesin ketik. Ini seperti kode pesan ancaman. Dan aku sependapat dengan Denis."Nuha mengangguk. "Coba kau baca Den."

"Jika kau tau namun memilih membiarkan. Lebih baik diam selamanya jadi pengecut. Jangan jadi orang plin-plan, karena keraguan itulah yang membunuhmu - Lonely Night. "

"Lalu kertas satunya berbunyi, Mau tau siapa aku? Aku adalah hitam. Yang berada didalam kegelapan. Yang mengelilingi cahaya terang. Tempat kalian bermain dan tertawa tanpa tau aku mengamati dari kejauhan. Tangkap aku jika kalian bisa. Kalau bisa hahaha ..."

"Kau terlalu berlebih, Denis. Tawanya juga tidak usah kau tirukan. Kau terlihat menjengkelkan."

"Aku sedang berusaha melucu. Jangan tegang-tegang dong kawan." Denis menyengir lucu.

"Ini seperti surat ancaman yang ditujukan untuk Marta. Tapi, kenapa setelah melakukannya? Bukankah biasanya surat ancaman itu ditujukan sebelum menciderai pelaku?" Nuha masih penasaran. Ia menatap Aksa yang sejak tadi diam.

"Pusing. Kasihkan saja langsung ke pihak sekolah." Denis mengambil jalan tengah.

"Karena ada yang sudah memulainya." Akhirnya Aksa menjawab. Matanya menatap Galang sekilas. Kemudian meletakkan kertas itu ke tangan Denis dan beranjak pergi.

Jeny sadar, kalimat itu ditujukan untuk Galang. Ia menyaksikan sendiri tatapan seperkian detik itu. Dan ia memandang Galang yang menatap kepergian Aksa.

"Kalau begitu, bukankah ini barang bukti? Kenapa kita pegang? Kita bisa ditangkap polisi!" Raut Denis sungguh cemas. Ia meletakkan kertas itu lagi ke lantai.

"Yang memegang itu tadi, hanya kau. Aku tidak hahaha ..."

"Kau yang menyuruhku tadi, Nuha!"

***

19 Juli 2020
Vote dan komen 😉

Pusing?
Ada yang berhasil menebak pelakunya siapa?
Silahkan yang bisa mecahin sandinya.

Bantu baca juga dong di fizzo kalau yg ada aplikasi fizzo, baca dan komentar ceritaku di sana Black Sugar. Saling review juga nggak apa2, nanti aku komen balik cerita kalian di sana setelah baca dan komentar cerita aku.

Oh iya cerita ini sudah bisa dibaca di KBM atau karya kasra, disana sudah sampai tamat dan ada extra part-nya. seperti biasa ya, aku bakal update di sini sampai tamat aja :)

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Where stories live. Discover now