9. Hujan Sore Itu

417 93 37
                                    

"Camel udahan dong nangisnya. Yang luka kan gue."

Hari beranjak sore. Camelia dan Satria kembali lagi ke sekolah setelah sesi baku-hantam itu berhasil dihentikan oleh warga sekitar. Wajah dan tubuh Satria sekarang lebam di sana-sini. Tapi pemuda itu masih bisa tersenyum lebar seolah tak terjadi apa-apa.

Mereka sempat kehujanan ketika di perjalanan. Camelia sih, tidak terlalu basah kuyup karena memakai hoodie dan helm Satria. Tapi Satria benar-benar basah sebadan-badan. Makanya sekarang agak flu.

Satria berdecak pelan, bergeser mendekat ke Camelia. Pasalnya, gadis itu tak kunjung berhenti menangis semenjak mereka tiba di UKS Dharma yang masih buka.

"Mel, gue kan udah diobatin jadi gue udah gapapa. Jangan nangis lagi, ya?" bujuk Satria, merengkuh lalu mengelus bahu Camelia pelan.

Di sela isak tangisnya, Camelia mengangkat wajah. "Ya tapi kan, luka lo gak akan sembuh sehari..." lirihnya.

"Iya, tapi udah gapapa. Lo tuh, udah jelek, Mel. Kalo nangis nanti tambah jelek," ledek Satria.

Camelia terkekeh pelan dengan suara serak, pura-pura menonjok lengan Satria. "Sialan lo," umpatnya.

"Nah, gitu dong ketawa."

Senyum Camelia mengembang semakin lebar.

Rasanya, Camelia ingin berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimkan Satria ke dalam hidupnya. Ia tak tahu apa jadinya jika tadi Satria tak datang menyelamatkannya dari gerombolan berandal SMA Bakti.

Ya, walau Satria juga bisa dikategorikan sebagai berandal.

"Makasih ya, Kaisar." Camelia tersenyum tulus, menatap Satria dengan mata sembabnya.

"Sama-sama, Yazhadine," balas Satria diselingi tawa kecil.

Hening sejenak.

Di atas kasur UKS yang sepi, kedua insan itu bertatapan. Hujan masih turun dengan volume kecil. Memercik lembut jatuh di atas atap, membuat kaca jendela perlahan berembun. Bersamaan dengan udara yang semakin dingin setiap detiknya.

Tapi, ada dua hati yang perlahan menghangat.

Camelia tak tahu mengapa jantungnya tiba-tiba berdebar kencang kala kedua iris hitam sepekat malam milik Satria menatapnya lekat. Bahkan, desiran darah yang naik dan berkumpul di pipinya sangat terasa tak seperti biasa.

Di mata Camelia, Satria terlihat beribu-ribu kali lebih menarik dibanding hari-hari kemarin. Tatapan teduhnya membuat lidah gadis itu mendadak kelu.

Pemuda bersurai hitam itu membasahi bibir sejenak, menggenggam kedua tangan Camelia erat-erat.

Perlahan namun pasti, Satria mendekatkan wajahnya pada wajah Camelia. Napasnya terasa hangat karena flu yang tiba-tiba menyerang.

Mata Camelia refleks menutup. Suara hujan tak lagi terdengar di telinganya. Yang sekarang terdengar jelas di telinganya adalah detakan jantungnya sendiri.

Detik pertama.

Satria menempelkan bibirnya di atas bibir Camelia. Ada rasa asing yang membuncah di dada kala dengan perlahan ia menggerakkan bibirnya melumat lembut bibir gadis itu.

Perut Camelia serasa diisi oleh ribuan kupu-kupu. Sedikit demi sedikit matanya terbuka. Dan, hal yang pertama ia lihat adalah kedua mata Satria yang menatapnya intens.

Detik kedua, ketiga, dan seterusnya.

Mereka tenggelam dalam euforia yang mereka rangkai. Dunia yang harusnya ramai kini seolah khusus diciptakan hanya untuk mereka berdua.

Switched | Sunwoo, ChaeyoungWhere stories live. Discover now