6.0 Rumah

379 121 25
                                    

Elodie Gaia Mubarak

"Makasih, Pak," ucap gue kepada driver ojek online yang baru saja gue tumpangi.

Selesai gue mengucapkan terima kasih, gue pun berbalik badan dan lekas membuka kunci gerbang rumah gue.

"Eh.. Itu, Mbak. Maaf.. Helmetnya kebawa."

Suara itu lantas menghentikan kegiatan gue.

"Helmet? Kebawa?"

Gue dengan cepat meraba kepala gue dan ternyata benar. Helm milik driver tersebut masih gue pakai hingga saat ini.

"Anjir.. Malu banget.." ucap gue dalam hati sambil memejamkan mata erat.

Gue kembali membalikan badan dan menampilkan senyum paling bodoh yang gue miliki kepada driver ojol tersebut. "Hehehe.. Maaf ya, Pak. Terlalu buru-buru saya jadi lupa," tukas gue sambil mengebalikan helmet tersebut ke pemiliknya.

"Hehe.. Iya, Mbak. Gak apa-apa. Udah banyak kok yang suka gitu."

Gue mengangguk, "Hehehe.. Ya udah kalo gitu, Pak. Makasih lagi ya!"

"Siap, Mbak. Sama-sama."

Begitu selesai dengan drama memalukan bersama driver ojek online, gue segera memasuki pekarangan rumah. Melepaskan sepatu dan mengetuk pintu.

Ddokk.. ddokk.. ddokk..

"Assalamualaikuum, Teh Gia pulang.."

Gue mengintip melalui jendela. Rumah gue masih terlihat terang benderang. Gordyn pun masih belum ditutup sepenuhnya. Hal itu membuktikan bahwa anggota keluarga gue belum semuanya beranjak ke alam mimpi.

Menunggu sebentar, pintu pun terbuka. Menampilkan Ibu yang masih tampak cemas.

"Yaampun, Teh. Kamu kemana sih Ibu teleponin kok gak bisa-bisa?" ucap Ibu sambil mengusap kepala gue yang sedang mencium tangannya.

"Baterai hape Teteh low, Bu. Tadi aja Teteh numpang ngecharge di Indomaret deket stasiun buat pesen ojol," jawab gue sambil berlalu bersama Ibu menuju ke ruang keluarga.

"Yatuhan.. Teteh capek banget, Bu."

Gue menjatuhkan diri di salah satu sofa di sana. Sedangkan Ibu, berjalan melewati gue dan berlalu ke dapur, "Kamu mau dibuatin teh hangat atau susu?"

"Teh hangat aja, Bu," jawab gue sambil memijat kening.

"Tadi rame banget deh, Bu. Teteh kayak mimpi ada di sana. Soalnya kayak ya.. serame itu. Sebanyak itu massa aksi yang dateng. Teteh gak nyangka," lanjut gue.

"Ya gimana gak banyak? Orang-orang yang gak pernah turun aksi dan orang-orang yang biasanya cuma kritik sana-sini di media sosial kan hari ini ikut turun juga. Kayak kamu aja deh contohnya," tanggap Ibu seraya memberikan teh dalam cangkir itu ke tangan gue.

Gue mengangguk dan segera meminum teh tersebut sebelum menjawab kembali, "Iya ya, Bu? Berarti kalo gini kemungkinan besar ada dua alasannya. Negara udah darurat sehingga yang biasanya diam pun ikut bertindak atau ya buat keren-kerenan aja."

Ibu mengangguk.

"Terus kalo kamu sendiri termasuk yang mana?" tanya sebuah suara yang datang dari arah tangga.

"Eh? Aku kira Ayah udah tidur."

Ayah tersenyum dan menghampiri gue. "Mana bisa ayah tidur kalo anak cewek jagoan ayah belum pulang. Nah.. jadi anak ayah termasuk yang mana?" ucapnya sambil mengusap kepala gue.

"Hm.. yang pertama dong. Kalo buat keren-kerenan doang mah ngapain Teteh capek-capek ke sana abis bimbingan?"

Ayah mengangguk, "Hebat kalo gitu anak Ayah. Ayah tuh kaget waktu kemaren Ibu bilang Teteh mau turun aksi. Ayah khawatir takut Teteh kenapa-kenapa karena ini pertama kalinya Teteh turun aksi. Ayah juga khawatir kalo Teteh turun aksi hanya karena ikut-ikutan aja."

LEWAT AKSIWhere stories live. Discover now