END : Bait Terakhir

Comincia dall'inizio
                                    

"Hei, apa kabar?" Andis berbicara sendiri.

"Sekarang ... aku udah lulus."

"Aku harap ... kamu baik-baik aja di sana."

"Awal kita ketemu, aku pikir kamu itu arwah paling jutek di dunia. Tapi ternyata sebaliknya, dari sekian banyak arwah--"

"Cuma kamu yang aku harap, bisa hidup kembali," ucap Andis sambil bersandar di kursi itu. 

Andis duduk beberapa menit, hingga akhirnya ia beranjak dari kursi itu. "Aku pamit ...."

Andis pergi meninggalkan beberapa ikat bunga melati dan segela kopi moccacino di kursi panjang itu.

Andis pergi meninggalkan beberapa ikat bunga melati dan segela kopi moccacino di kursi panjang itu

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

"Andis."

Andis menoleh ke kursi di belakangnya, "Sekar?" ucapnya.

Tak ada siapapun, tak ada apapun. Hanya suara ilusi yang tercipta dari segelintir rindunya.

Hal paling menyakitkan, bukanlah karena tidak bisa melihatnya lagi, tetapi justru karena aku masih bisa mendengar suaranya ... meski tak lagi dapat melihatnya.

Hal yang paling curang dari Sekar adalah, suara candanya yang tertinggal di sini. Sementara ia telah pergi membawa seluruh rinduku.

Sementara itu Tama berada di sebuah taman bermain, ia duduk sambil menatap seorang anak kecil yang sedang bermain biola di tengah taman, sambil di saksikan beberapa orang yang sedang berlalu lalang di sana. Anak itu tak sengaja melihat Tama yang sedang duduk dan menghentikan permainannya, ia berlari menuju Tama.

"Ayah," panggilnya sambil berlari.

Tama membalasnya dengan senyuman. Tama melihat gerobak es krim di pinggir jalan, dan membelikan Sherlin satu skop es krim. Ia menatap Sherlin yang kini sedang menikmati es krimnya sambil duduk di kursi taman. Kakinya yang menggantung, sedang bergerak-gerak ke depan dan kebelakang, seraya dengan ekspresinya yang begitu senang karena dibelikan es krim.

"Ayah mau? Sherlin bagi sedikit," ucap anak itu.

Tama hanya menggeleng sambil tersenyum. Namun, matanya berkaca-kaca, mengingat ia harus pergi meninggalkan anak itu. Untuk membawa Sherlin tentu saja ada prosedur yang harus dilalui, dan butuh waktu untuk menyelesaikan prosedur itu. Menyadari kesedihan sosok yang ia anggap sebagai ayah, Sherlin menggandeng tangan milik Tama.

"Ayah mau pergi kan?"

Kata-kata itu semakin membuat Tama tak bisa membendung air matanya. Entah, ditinggal seorang Aqilla Maharani ke luar negri tak membuatnya menangis, bersedih pun tidak. Tapi sosok anak ini membuatnya tak bisa berkata-kata.

"Sherlin boleh ikut?"

Tama tak menjawab, ia masih diam seribu bahasa sambil menahan getirnya.

"Kalo enggak boleh juga gapapa," ucap anak itu sambil tersenyum.

Mantra Coffee ClassicDove le storie prendono vita. Scoprilo ora