S - Memori

780 167 120
                                    

S - M E M O R I

***

Aku baru saja naik ke kasur empuk. Setelah sebelumnya mengoleskan minyak kayu putih di beberapa bagian badan, yang memerah akibat dicemilin semut. Rasanya ingin sekali mengeluh sakit, apalagi ketika kusingkap celana olahraga dan lengan baju kemudian menemukan bentol-bentol selebar buah apel. Ngeuri, tapi aku mah cewek strong. Kalau yang seperti ini sudah mengeluh sakit, bagaimana nanti kalau aku sudah mengarungi bahtera rumah tangga? Yang penuh konflik dan lika-liku seperti film India atau drama Korea?

Yah, mengkhayalnya terlalu jauh ya. Lulus sekolah saja belum, sudah mikirin nikah.

Tapi, memang aku dilahirkan untuk nggak boleh terlalu banyak mengeluh. Hidup yang kujalani sekarang sudah lebih dari sekedar cukup. Allah memang Maha Pengasih, Ia nggak pernah tidur. Selalu memberikan segala yang terbaik padaku, meski kadang ada saja konflik-konflik kehidupan yang harus dihadapin. Dan sepertinya, fase-fase itu telah kulewati dengan sangat baik bersama Bang Arsa—Kakakku.

Aku membaringkan badan, menatap langit-langit kamar Rufaida yang masih terlihat sama. Kemudian mengalihkan pandangan ke arah tempat tidur Syahlaa, Gladys dan Eren. Bibirku menyunggingkan senyuman kecil. Merasakan damai melihat tingkah dua penghuni baru kamar Rufaida, yang mulai mengisi kehampaan ruangan ini satu tahun yang lalu.

Mulanya kamar ini juga sama-sama dihuni oleh lima orang santri putri, namun beda angkatan. Aku, Hafshah dan Eren satu angkatan. Kemudian, dua lainnya adalah Nadiya dan Mely yang merupakan adik tingkat. Masing-masing masih duduk di kelas 9 dan 7 SMP waktu itu. Sementara angakatanku berada di kelas 10 SMA.

Hubungan pertemanan kami amat baik awalnya. Eren pun yang sangat tertutup dan penyendiri, kadang kala mulai bergabung meski hanya menyumbang senyum dan helaan napas melihat tingkah kami berempat. Sayang, semua nggak bertahan lama. Nadiya yang kukenal baik, polos dan ramah tiba-riba berubah drastis menjadi gadis kecil yang sangat pencemburu. Kedengkian hatinya menciptakan jarak. Bahkan sosoknya yang selalu terlihat manis di mataku, berubah 180 derajat. Tak ada hal baik darinya yang masih kuingat, selain ia masih santri Darul Akhyar. Semenjak itu pula, muncul banyak sekali musuh-musuh dalam selimut yang sering kutemui.

Kepindahan Mely yang mendadak semakin memecah kami. Kembalinya Eren menutup diri pun menjadi alasan ruangan ini tak pernah secair dulu. Berdasarkan rengekan Nadiya pada Ustazah Benaz tentang aku yang selalu melakukam perundungan di kamar ketika beliau tak ada, para asatid pun menyetujui permintaan untuk memindahkan Nadiya ke kamar dan gedung asrama lain.

Aku sempat tak terima. Bagaimama bisa aku menerima alasan yang nggak masuk akal seperti itu? Aku melakukan perundungan? Apa mendiamkan seseorang termasuk perundungan? Lucu aja sih. Alasan yang digunakan seolah sangat memojokkanku dan itu disetujui oleh semua kalangan.

Ustazah Benaz sempat mengatakan padaku, jika para asatid sudah tahu watak asli Nadiya. Mereka memintaku untuk bersabar, pada hal yang mencoreng nama baikku sendiri. Meski kesal, akhirnya kubiarkan saja itu semua berlalu. Sebab kupikir, semua masalah akan musnah seiring waktu. Tegerus ombak, lalu lenyap bersama air laut.

Namun, nampaknya Nadiya masih belum puas hanya dengan memfitnahku. Buktinya? Semua anak olimp matematika nggak ada yang mau dekat apalagi duduk sebangku denganku. Tapi toh nggak masalah. Di tengah banyak orang yang nggak suka, masih ada mereka yang mau menjadi teman-teman terbaikku. Mengisi hari dengan tawa dan celoteh-celoteh ceria.

Misalnya seperti hari ini. Awalnya, pagiku dimulai dengan hal tak mengenakkan. Kemudian, siangnya—walau belum terlalu siang banget—mereka mengembalikan suasana hatiku dengan memetik buah mangga untuk rujak, sempat ada suasana horor ketika Gus Emil tiba-tiba muncul di tengah-tengah pembicaraan kami. Lalu, ditambah pertengakaran Syahlaa dan Gladys saat ini yang mengundang tawa.

Coba saja kalau Allah nggak menghadirkan mereka di sini. Mungkin, aku sudah terlalu frustasi karena fitnah dari Nadiya.

"Med, Haf, mandi, yuk!" ajak Gladys yang sudah siap dengan peralatan mandinya.

Karena badanku juga sudah lengket banget dan bau-bau semerbak mulai mengusik indra penciuman. Aku memilih mengikuti Gladys, begitu pun dengan Hafshah.

"Eh, Dys. Nanti abis kamu mandi, trus giliran aku ya? Biarin deh si Lalala. Enak aja dia santuy santuy, sementara kita ngantri. Kan nggak sesuai sama sila kelima pancasila tuh," ucapku bersungut-sungut. Namun sukses menerbitkan tawa kecil dari kedua sahabatku ini.

Kami sudah berada di bawah, tepatnya mengambil urutan antri mandi. Pandanganku mengedar ke segala arah. Menikmati suasana pondok ketika disiram cahaya kekuningan di sore hari. Hingga irisku pun bersinggungan dengan bola mata seseorang.

Ia menatap ke arahku, bersama dua teman barunya yang lain. Mereka lantas berbisik sesuatu. Tapi aku ra peduli.

Tiba antrian Gladys masuk, yang ditegur Hafshah dulu karena gadis di depanku inu pun sempat tertarik pada keberadaan tiga makhluk di kamar mandi adik tingkat. Pradugaku, Gladys mungkin memiliki masalah dengan salah satu di antara mereka. Atau mungkin masih menaruh curiga saja? Aku kurang tahu sih, karena ia pun belum pernah menceritakannya.

Waktu berjalan lambat. Gladys yang baru masuk beberapa menit, terasa bertahun-tahun telah terlewati. Di saat seperti ini, niat usilku pun muncul. Mana bisa coba aku diam menunggu? Nggak bisa! Gatal rasanya kalau nggak berulah barang sedetik pun.

"Dys, Dys, cepat! Ada apa loh di dalam!" teriakku sembari menggedor pintu. "Dys, aku dengar Mbak Harum juga suka ngintip!" imbuhku terkekeh geli.

Gladys masih belum termakan provokasiku. Mengesalkan, tapi aku cukup puas walaupun hanya secuil saja. Sebentar lagi giliranku masuk, mengingat nggak ada lagi suara cipratan air dari dalam. Tapi saat menyadari aku salah mengambil facial wash yang harusnya facial scrub, aku pun memdesah berat karena harus rela kembali ke kamar.

"Haf, titip antrian ya. Jangan sampai si Lalala nyerobot!" Hafshah mengacungkan jempolnya sembari memperlihatkan sederet gigi rapinya.

Baru juga menaiki anak tangga menuju lantai dua, Syahlaa turun dengan kecepatan penuh. Dia masih sempat menjawil pipiku sebelum berlalu.

"Aku ambil antrian kamu ya, Zeyeng!" ucapnya lantas tertawa.

"Lalalaaa! Awas aja kalau berani!" Ish, nggak ada waktu buatku berhenti. Sementara suara Syahlaa memantul ke dinding-dinding asrama. Aku mempercepat langkah kaki menuju kamar. Kenapa pula aku lupa jadwal mingguan buat nge-scrub wajah.

Setelah dapat apa yang kucari, kakiku kembali berlari. Dari ujung tangga terbawah, aku melihat Syahlaa sudah berada di depan kamar mandi. Ia pun langsung masuk, menggeser Gladys yang baru saja keluar.

"Lalala, kamu curang!" seruku sembari terus berlari, walau gerakanku kalah cepat. Pintu sudah Syahlaa kunci dari dalam, yang hanya bisa kugedor sembari terus menyebut namanya. Sedangkan orang di dalam malah asik tertawa.

Dih, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah jadi korban keganasan semut mangga, sekarang malah diserobot antrian kamar mandi pula! Keusyeeeeul!

***

Assalamu'alaikum ❤

Yeay, nggak nyangak bakal update 😂 Maaf ya, ini pendek sih, hehe. Nggak sempat bahas soal mtk kemarin, karena takut kepanjangan.

Semoga terhibur sedikit sama kelakuan anak MSG.

Perjalanan cerita Meda masih panjaaang, masih banyak misteri tentang dia. Dan Binar pun juga belum banyak nongol wkwk.

Nantikan cerita ini ya. Insyaallah, minggu update lagi ❤
.
.
.
Salam sayang, bawelia-

ASA [TERBIT] ✔️Where stories live. Discover now