S - Si Ajaib

1.3K 220 141
                                    

S - S I A J A I B

***

Motivasi masuk pondok pesantren?

Kalau ditanya begitu pun, tak ada alasan spesial yang membuatku terdorong untuk masuk ke Darul Akhyar. Selain karena merasa asing tak mendengar tawa gadis kecil yang selalu membuntutiku ke mana pun pergi.

Kejadiannya enam tahun yang lalu, di kamar tidur yang dihiasi warna kuning di mana-mana. Aku baru saja akan naik ke balkon kamarnya melalui pohon mangga yang tumbuh pas di samping rumah gadis itu. Ketika ia malah memberitahuku berita yang cukup mengejutkan.

"Kamu harus ikut aku ke ponpes!" serunya semangat.

Kakiku hampir tergelincir, mungkin tubuhku juga akan terpelanting dan mencium tanah di bawah sana andai ia tak menarik lenganku kuat-kuat.

"Hati-hati dong, Bi!" sungutnya dengan alis menyatu.

Badanku memang lebih kecil darinya waktu itu. Lemah, rapuh, dan tak berdaya. Pandangan-pandangan dan kalimat serupa sering sekali kudengar saat bersamanya. Mereka membandingkanku yang terlihat lembek dengan gadis ceria dan energik, yang tak lain adalah anak tetangga samping rumahku.

Minder? Jawabannya adalah, tidak.

Selama masih ada orang-orang di samping yang terus mendukung, aku tak terlalu peduli pada omongan orang yang hanya akan menjatuhkan mentalku saja. Mereka pandai berucap, mengkritik, atau kasarnya menghujat tanpa tahu apa yang telah orang tersebut lalui untuk tetap berdiri tegak.

Kembali pada topik utama. Sekarang aku sudah bersila di atas karpet kamar tidurnya sembari memeluk boneka bulan sabit kuning miliknya. Di hadapan kami, tersuguh segelas teh lemon hangat dan enam potong biskuit coklat.

Aku sibuk mengunyah potongan biskuit yang ibu Meda bawakan dari dapur. Sementara gadis itu kembali anteng dengan buku-buku beratnya yang berserakan di lantai. Kadang aku pikir apa yang ia baca tak sesuai dengan usianya.

Coba lihat kamar ini. Di sudut ruangan sebelah utara saja, berdiri dua lemari besar berisi berjenis-jenis buku. Lemari pertama yang ia beri nama kebahagiaan, berderet rapi majalah Bobo, komik kuark, novel anak-anak, dan sejenisnya. Sedangkan, lemari kedua yang baru terisi rak pertama hingga ketiga itu, berisi buku-buku filsafat, ilmu pengetahuan yang masih belum kumengerti, dan tentunya buku-buku berbau matematika.

Ajaibnya, yang paling sering ia buka adalah buku dengan rumus-rumus rumit juga sejarah-sejarah ilmuan islam dunia.

Aku berjalam bosan ke arah rak bukunya. Menarik satu Komik Kuark level 2, dan kembali duduk sembari terus mengunyah. Kegiatan kami di akhir pekan memang hanya seperti ini. Kadang kala kalau Meda jenuh dengan buku-bukunya, ia akan menarikku ke lapangan atau taman dekat rumah atau ke mana pun asal bisa mengusir rasa bosan.

Tidak ada obrolan lagi setelah kalimatnya ketika aku baru saja datang. Meda yang baru kembali dari dapur bersama ibunya, langsung hanyut dengan buku-buku di lantai. Mungkin, ia ingin menamatkan satu bab dulu sebelum memberitahu kabar besar yang ia bawa.

"Bi, kamu mau masuk mana setelah lulus SD?" Akhirnya ia bersuara. Meski tatapannya masih terfokus pada buku yang dibaca.

Aku mengangkat bahu sebagai balasan, lantas menarik kertas kosong dan pulpen roket milik Meda. Jemariku menggoreskan sebuah kalimat, dan memberikan itu padanya.

Mungkin SMP Bima Sakti

"Ooh, SMP Bima Sakti," Meda berseru singkat setelah membaca kalimat di kertas. Ia pun menutup buku, dan beranjak ke arah meja belajar.

ASA [TERBIT] ✔️Where stories live. Discover now