A - Kamu

1K 197 159
                                    

A - K A M U

***

Aku pernah mendengar, kalau kita menggantung mimpi setinggi angkasa. Maka usaha pun harus meroket secepat cahaya.

"Besok sore, ikut bimbingan bersama anak olimp lainnya." Ustaz Zainal namanya. Ia adalah salah satu guru matematika yang cukup disegani di Darul Akhyar. Wataknya yang agak keras saat mengajar, membuat beberapa siswa yang mengikuti ekskul olimp matematika sering merasa salah memilih club.

Bayangkan saja tiap kegiatan harus merasakan jantung yang berdebar cukup kencang. Lantas meloncat-loncat tak karuan, ketika beliau menyebut salah satu nama siswa untuk menjelaskan rumus pengerjaan soal. Nggak sampai di sana saja. Bersiap-siaplah mendapat teguran yang cukup menekan mental jika kamu salah menjawab. Ruangan yang hening dan tatapan laser Ustaz Zainal, cukup membuat kalian menampung tangis yang siap dipecahkan setelah kelas selesai.

Aku mengernyit saat mendengar titah dari beliau. "Kelas 12 bukane sudah ndak boleh ikut lomba, Ustaz?"

Ustaz Zainal tertawa lebar. Bagi siswa lain mungkin langka melihatnya begitu santai seperti ini, tapi untukku yang hampir enam tahun dididik oleh beliau, hal tersebut adalah penemuan yang biasa saja.

Pria 54 tahun itu lalu mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup mengusik harga diriku. "Mana Meda yang katanya mau menjadi nomor satu di Daru Akhyar? Ditawari ikut lomba kok malah mau nolak?"

Siapa juga yang mau menolak? Kalau bisa, aku malah ingin mengikuti semua lomba sampai hari ujian nasional datang. Aku hanya merasa nggak enak saja pada rival-rival dari sekolah lain. Kalau nantinya menang lagi, mereka jadi nggak ada kesempatan dapat piala kehormatan dong? Ini kan kesempatan terakhir mereka di bangku SMA.

"Kalau Arfi?" kuajukan satu kandidat yang dirasa layak untuk ikut dalam kompetisi. Namun, nampaknya Ustaz Zainal masih menginginkan diriku daripada adik kelas pendiam itu.

"Arfi juga akan ikut, tapi yang lolos ke tingkat nasional mungkin hanya salah satu saja dari kalian."

Seruan panjang meluncur dari bibirku. Sekarang aku paham maksudnya. Kalau dimisalkan dengan mobil yang melaju ke sebuah tujuan, aku ini ban serep yang dipakai kalau-kalau Arfi ternyata gagal melaju. Ustaz Zainal yang terkenal bergengsi besar pasti akan sangat malu jika satu siswanya tak lolos di olimpiade tahunan ini.

"Saya pikir-pikir dulu, Ustaz," putusku pada akhirnya. "Tapi insyaallah besok saya datang bimbingan."

Ustaz Zainal melebarkan senyumannya. Selain Bubun, Yayah dan Binar, beliau juga adalah orang yang paling tahu jika aku sangat mencintai mata pelajaran dengan deretan angka dan rumus yang memusingkan itu. Setiap hari, semua kegiatan selalu kuhubungkan dengan angka.

Jangan salah paham. Aku bukan tengah menyombongkan diri. Tapi otak ini memang selalu begitu, ia seolah ter-setting otomatis. Cara kerjanya mungkin sama seperti Syahlaa yang selalu menghubung-hubungkan segala hal dengan biologi. Atau Binar yang katanya selalu bergerak efektif dan efisien, mirip prinsip dalam manajemen.

Aku menghempaskan tubuh ke atas rerumputan yang tumbuh subuh di taman. Pembicaraan dengan Ustaz Zainal tadi terjadi setelah aku menerima hukuman membersihkan toilet santri putri dari Ustaz Ahsan. Sampai sekarang, anggota Geng Micin masih belum menampakkan batang hidungnya di hadapanku. Sementara lima menit lagi, bel pergantian pelajaran akan segera berbunyi.

Awan bergerak teratur. Kecepatannya yang amat lamban, menggiringku ke alam mimpi. Angin pun berembus pelan, gesekannya dengan daun dan rerumputan bagai lagu pengantar tidur yang sangat pas. Matahari juga tak terlalu terik, membuat rasa bosanku memupuk menjadi rasa kantuk.

ASA [TERBIT] ✔️Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin