77: Mad Symphony

Mulai dari awal
                                    

Ruangan tiba-tiba benderang.

Cahaya temaram pagi menyelusup dari kerai jendela. Suara burung laut terdengar riuh di kejauhan. Ayumi gemetar begitu menyadari ia berada di kamarnya sendiri, jauh di puncak menara pusat di tengah permukaan laut. Posisinya, yang kini duduk di pinggiran tempat tidur tanpa biolanya, membuatnya hanya bisa melihat bagian jendela kamar, lemari dan beberapa cermin berkaki di lantai. Namun ia bisa mendengar helaan napas Mortimer tepat di belakang punggungnya.

Ayumi memejamkan mata pasrah. Tanpa senjata, ia merasa lemah—terekspos. "Kenapa k-kita di sini?"

"Selamat datang di rumahmu."

Mortimer bangkit dari kasur. Langkah sepatunya terdengar—Ayumi tidak berani menoleh. Gadis itu terus mengerut di tempat sampai akhirnya sang pria berada tepat di hadapannya, lengkap dengan busur cello yang senarnya seolah terbuat dari tali kaca. Rambut panjang pria itu basah kuyup. Mungkin rambutnya sendiri basah kuyup—Ayumi tidak berani mengecek.

Mortimer menunduk hingga matanya sejajar dengan mata sang gadis, bibir tersenyum tipis. "Halo. Kau mau bunuh aku sekarang atau nanti?"

"P-pertanyaan macam apa itu?" Ayumi mengernyit.

Si lawan bicara hanya tertawa.

"Aku tidak mau melawan takdir. Sudah kubilang sebelumnya, 'kan? Teman-temanku begitu persistennya menyelamatkan posisi mereka; posisi semu mereka—tidak seperti aku. Begini, Sayang: bunuh aku dan setelah itu kalian bisa pergi ke Muiridel, di mana teman pengendali airmu bakal membunuh sang Madam, setelah itu kalian baru sampai ke istana. Bagaimana?"

Ayumi masih mempertahankan kerutan di keningnya, pertanda bingung. Perlahan-lahan digesernya tubuh menjauh ketika Mortimer mulai bergerak mendekati tempat tidur. Tidak mungkin semudah itu, ia yakin. Mortimer punya rencana kedua—yang terlalu takut untuk gadis itu bayangkan.

"D-di mana biolaku?" Ayumi bertanya tiba-tiba. Ia tidak ingin melakukan itu. Ia awalnya ingin sedikit lebih halus; diam-diam mencari senjatanya sementara perhatian Mortimer teralih. Namun kegugupannya menang lagi, seperti biasa.

Jawaban yang kemudian diterimanya adalah tamparan.

Mortimer memukulkan sebelah tangannya ke wajah sang gadis. Ayumi terjengkang. Gadis itu terlempar dalam posisi rebah di atas kasur, di pipinya kini terdapat bekas cakaran yang  menganga merah. Rasa sakit membutakannya.

Tertawa sinis, sang pengendali pengganti segera bergabung dengannya, tubuh raksasanya membayangi sosok kurus Ayumi di tempat tidur. Tetesan air berbau amis jatuh membasahi sang gadis. Ayumi berteriak, tangannya dengan panik mencengkeram pinggiran kasur sementara kakinya yang terjepit lengan Mortimer berusaha meliuk ke samping, membangun tenaga untuk keluar. Andaikan di sini ada biolaku, pisau, lampu—apapun sebagai senjata.... Bantal terlalu lemah, selimut tidak bisa diandalkan....

Dan ia punya.

Ayumi berteriak lagi.

Ruangan itu bergetar. Rasa sakit membakar panas di tenggorokan, sementara citra pandangannya berganti-ganti—dari hutan belantara Vidar hingga pepohonan Etheres, jurang tanpa dasar, ruang singgasana yang berdarah dan hiruk-pikuk dunia manusia—bahkan sekilas menunjukkan Undamarie andaikan mereka tidak pernah menggesek alat musik sialan tersebut. Tanpa menunggu ilusinya berakhir, segera ditendangnya dada Mortimer dan buru-buru digulingkannya tubuh ke samping kanan, membiarkan dirinya jatuh ke lantai. Berhasil.

Citra Undamarie kemudian lenyap, kembali menjadi kamar di atas laut—dan sosok Mortimer yang tiba-tiba sudah di atasnya.

"Hmph. Cerdik, cerdik juga." Pria itu tersenyum miring. Dia jauh lebih besar sekarang, lebih menjijikkan—rupanya lebih mirip mayat yang mati tenggelam daripada makhluk normal. Air masih menetes-netes dari rambutnya ke tubuh sang gadis. "Habis itu apa lagi, Cantik?"

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang