04. Smart

3 0 0
                                    


Kau tahu anak dikelasmu, yang dibangga-banggakan guru, yang selalu dikatakan 'pintar' dan 'rajin', yang tiap hari dibombardir pertanyaan oleh murid-murid lain, yang selalu mendapat nilai bagus, dan selalu ranking pararel.

Banyak murid-murid lain yang iri, mengatakan betapa enaknya hidup si ranking satu. Yang tak perlu mengikuti remedial karena nilai yang selalu diatas KKM, bahkan hampir selalu 90 keatas.

Banyak juga yang berbisik-bisik mengatakan betapa sombongnya si ranking satu. Hanya karena 'si pintar dan rajin anak kesayangan guru' tidak mau membantu mereka saat ulangan.

Inilah kisah si ranking satu, si pintar, si rajin, si anak banggaan guru.

Setiap ujian, dia belajar dan terus belajar, sambil dihantui pikiran 'bagaimana nanti jika nilaiku turun?'. Dan disekolah membuka-buka buku, mempelajari lagi materi-materi yang sudah ia baca untuk kesekian kalinya. Semua usaha itu, dan beberapa dengan mudahnya bertanya : 'boleh minta jawaban nomer 1-50?'

Dia terdiam, beberapa kali berpura-pura tuli. Seperti yang banyak orang katakan 'saat ujian yang pinter dikelas tiba-tiba jadi tuli,' Namun juga ada beberapa kali dia, karena lelah dengan temannya mendorong-dorong kursinya, membantu dengan memberi cara-cara untuk mengerjakan ataupun jawabannya langsung.

Di sisi lain dia merasa bersalah, memberi jawaban itu dengan mudahnya membuat 'teman-teman'nya itu akan bergantung dengan jawaban darinya. Bagaimana jika saat UN atau yang lainnya? Dan juga dengan hanya memberi jawaban instan, apakah dengan begitu mereka belajar?

Ada juga sisi egois dirinya, 'bagaimana dengan aku?' batinnya.

'Tapi kan harus saling membantu dong,'

'Kita kan temen,'

'Sombong, ih. Gitu aja g mau. Bilang aja pengen bagus sendiri,"

'Pelit,'

'Sok tau,'

'G setia kawan'

Dan banyak lagi. Itu semua hanya karena tidak 'membantu' mereka saat ulangan. Dia belajar susah payah, hanya untuk beberapa murid dengan enaknya minta jawaban?

Tidak sampai disitu. Setelah ujian berakhir pun dia masih khawatir. Jika nilainya turun, apa kata guru-guru nanti?

'Kamu kok sekarang nilainya turun?'

'Ada masalah apa kok nilainya turun?'

'Belajar lebih giat lagi, itu lho si A lebih tinggi dari kamu,'

'Lho, kok tumben nilainya cuman segini,'

Jerih payah belajar, dan sekali turun diserang oleh pertanyaan-pertanyaan 'kok nilainya turun?'. Apakah naik turunnya nilai begitu berarti? Bagaimana dengan kesehatan mentalnya? Kau tak peduli betapa lelahnya belahar terus menerus dan dibicarakan oleh 'teman-teman' sendiri.

Dan konyolnya lagi apa yang 'teman-teman' itu bilang :

'Kamu pasti bagus lah kan kamu pinter,'

'G usah khawatir nilaimu selalu bagus. Kan kamu pinter,'

'Kamu kan pinter beda sama kita-kita ini yang bodo,'

Usaha itu terlihat begitu kecilnya hanya dengan kalimat 'kamu kan pinter,'

Di kelas, saat pelajaran, ketika gurumu menanyakan pertanyaan. Si ranking satu yang 'pintar' seperti biasa mengacungkan tangannya menjawab pertanyaan guru dengan teramat lancar.

'Ih, sombong,'

'Sok tau,'

'Biasa mau pamer,'

Disaat si ranking satu itu tidak menjawab karena lelah dengan segala 'nama-nama' yang dilontarkan oleh 'teman-teman'nya. Dia harus mengemban lagi ucapan-ucapan tajam dari sang guru.

'Kamu kok g jawab, yang aktif buat ngangkat kelas,'

'Lain kali jawab ya, saya tahu kamu bisa jadi jangan pelit-pelit ngasih jawaban,'

'Jangan diem terus, bantu kelasnya,'

Dan sebagainya. Tiap hari, dibebani ekspetasi semua orang disekelilingnya. Hingga pada titik di mana dirinya sendiri, kepentingannya sendiri, serasa tidak penting.

Nah, sekarang kau tahu bukan betapa 'enak'nya menjadi 'pintar'?





A/N : Harap diperhatikan ini hanya 'curhatan' semata. Jangan disamaratakan dengan yang lainnya karna ini hanya pendapat dan pengalaman pribadi. Tidak bermaksud menyinggung siapapun ataupun membela perbuatan orang lain. Sekian terima kasih.

Clair de LuneWhere stories live. Discover now