XIII

6.4K 380 61
                                    


Beberapa hari telah berlalu. Untuk kesekian kalinya, Hinata di hadapkan hawa menegangkan kala tatapan sang ayah terkesan mengintimidasi.

"Ayah sudah memberimu cukup waktu untuk diam, Hinata. Tapi sekarang, tolong jelaskan pada ayah kenapa kau bisa senekad itu mengambil keputusan untuk pergi ke Osaka?"

Sejujurnya, Hinata cukup mengerti bila sang ayah pasti sudah tahu. Namun dirinya pun juga paham sikap ayahnya itu yang ingin mendengar secara langsung.

"Ayah dengan semudah itu menerima lamaran Toneri tanpa menunggu persetujuan dariku. Bagaimana bisa Ayah berpikir aku akan dengan mudah menerimanya? Andai Ayah tahu, sudah lama aku mencoba melupakannya. Dan bukan berarti aku akan senang saat dia datang secara tiba-tiba seperti waktu itu. Tanpa ada rasa bersalah, Toneri datang dan dengan lancang mengklaim aku adalah kekasihnya, dan yang lebih buruk, Ayah malah menyambutnya dengan senang hati. Lantas, tak ada jalan untukku membantah, detik itu aku nekad dan pergi dari pada masalah kian runyam karena sikap Ayah yang susah diajak negosiasi ketika keputusan sudah Ayah ambil..."

Hiashi terpejam damai meski dalam hati tersemat rasa bersalah hebat. Kalimat panjang yang putrinya jelaskan, sudah cukup menjawab semua yang ada.

Kelopak matanya pun kembali terbuka. Tatapannya lurus mengatensi sang putri yang kini tengah tertunduk dengan mata berkaca-kaca.

Entah kenapa, ia teringat mendiang istrinya. Hinata begitu mirip dengan Hikari dari segi fisik, meski karakter keduanya sedikit bertolak belakang.

"Maafkan ayah, Hinata..."

Detik demi detik hingga beberapa saat mulai membangunkan Hinata dari tundukan kepalanya.

Ia sedikit terkejut, bibirnya pun tersenyum haru kala mendengar kata maaf tulus dari sang ayah. Sungguh, jarang seorang Hyuga Hiashi merendahkan hati seperti itu.

Hinata berdiri dan langsung mendekati ayahnya. Dapat ia lihat, wajah sosok yang ia sayangi itu, terlihat memendam kerinduan.

"Ayah..."

Diusapnya lengan sang ayah lembut. Entah kenapa, sebersit perasaan bersalah mulai menjalar di hati. Hinata tahu, ayahnya sangat menyayangi anak-anaknya, tak terkecuali dirinya. Walau pun, pria paruh baya itu bersikap diam seolah tak peduli. Namun Hinata yakin, di dalam hati ayahnya, terdapat kasih sayang melimpah untuknya.

"Aku merindukanmu..." ujarnya membuat sang ayah tersenyum simpul. "Aku masih ingat, cara Ayah memperlakukanku saat masih kecil. Tapi sebaliknya, saat sudah sebesar ini, Hinata malah seperti kian jauh denganmu. Maafkan aku..."

Ini buruk untuk Hiashi. Salah satu yang mampu membuatnya terharu adalah nuansa kekeluargaan. Ia tak boleh luluh dengan perkataan Hinata. Sebagai seorang pemimpin keluarga sekaligus perusahaan yang dikenal cukup tegas, ia harus bisa menjaga image setinggi mungkin.

"Apa seperti ini cara Ayah bersikap di depanku?"

Keningnya mengkerut dengan aura pertanyaan yang tak dapat ia utarakan. Hiashi sedikit bingung.

"Aku tahu, Ayah hanya diam agar terlihat keren, bukan?" dapat ia lihat pria itu menggeleng tanpa bersuara sedikit pun. "Bagiku, Ayah lebih keren ketika tersenyum dan terbuka. Jika seperti ini, Ayah malah terlihat seperti Toneri, dan aku sangat membenci pria itu."

Akhirnya pandangan Hyuga Hiashi melembut. Ia pun tersenyum meski tidak bisa dikatakan senyum lebar. Ditepuknya puncuk kepala putrinya itu pelan. Hinata benar, dirinya mungkin sudah tua dan tak perlu bersikap keren.

"Ayah akan pergi. Kau tetaplah di rumah dan jangan lupa untuk mengingatkan Hanabi agar makan. Dia susah diatur belakangan ini."

Hinata menggembungkan pipinya. Lagi-lagi ayahnya tak mau bertindak walau kata-katanya cukup menjelaskan betapa Hiashi sangat memikirkan pola hidup Hanabi.

Let's Play and Finish, OK! ✓Where stories live. Discover now