Kembali duduk di hadapan Jihye, Hoseok melanjutkan, “Hubunganku dengan ayah tidak terlalu dekat.”

Aku juga. “Apa karena restoran?” Jihye bertanya dengan tenang. Sedikit membuat Hoseok terkejut. Namun laki-laki itu mengira bahwa Jihye hanya sekadar menebak.

“Begitulah.”

“Apa mengurus restoran begitu melelahkan?”

Hoseok menggeleng. “Tidak. Ini hanya tentang perbedaan pilihan hidup, kurasa.”

“Dan mengurus restoran sebenarnya tidak ada dalam pilihanmu.” Begitu juga dengan keputusan menikahiku.

“Kau diam-diam ternyata tahu banyak tentang aku, ya? Apa jangan-jangan selama ini kau selalu memperhatikanku?” Hoseok jelas menggoda Jihye, tapi tanggapan Jihye tetap biasa saja.

“Jangan konyol. Anggap saja aku hanya terlalu peka.” Jihye mencari alibi dengan meneguk segelas air putih.

“Kalau begitu karena aku bukan tipe orang yang mudah peka, bagaimana jika kau ceritakan tentang dirimu?”

“Kau mau informasi yang seperti apa? Bukankah kau sudah dapat semuanya dari Jungkook?”

Hoseok lupa kenyataan kalau Jungkook lebih dekat dengan Jihye daripada dengannya. Pasti pemuda itu berat sebelah.

“Ada yang tidak Jungkook tahu.”

Banyak tentu saja. Jihye membiarkan Hoseok melanjutkan perkataannya.

“Seperti … apa yang ada di pikiranmu belakangan ini?”

Jihye tidak lantas menjawab.

Bahkan Jihye sendiri saja bingung menguraikan pemikirannya sendiri. Terlalu banyak hal yang ia pikirkan. Yang sebenarnya dia sendiri bertanya-tanya, apakah semua ini penting?

“Entahlah.” Jawaban singkat dari Jihye membuat Hoseok kecewa. Dalam benaknya terbesit satu pemikiran yang mungkin saja memang benar.

Banyak yang Jihye pikirkan. Sebanyak hal-hal yang menurut Jihye tidak bisa dibagi dengan Hoseok.

“Apa kau masih menganggapku sebagai orang lain?” Hoseok memandang Jihye serius.

Untuk pertanyaan yang satu itu, Jihye juga tidak tahu jawabannya.

*

Mengapa mereka berdua tidak bisa seperti pasangan lain?

Bahagia menanti hari-hari kelahiran anak mereka. Menikmati akhir pekan dengan jalan-jalan bersama. Makan-makanan kesukaan dengan bahagia. Saling mencintai dan berbagi kasih. Apa pernikahan impian Hoseok memang hanya akan menjadi sekadar impian?

Hoseok menikmati kopinya yang tinggal separuh. Memandang selembar potret di tangannya dengan kagum dan takjub. Mengamati hasil USG bayinya lamat-lamat. Hampir terlihat seperti orang gila yang senyum-senyum sendiri karena selembar kertas. Jadi begini rasanya mengetahui dirimu akan segera menjadi ayah?

Hoseok merasa bisa melakukan apa saja untuk melihat bayinya lahir ke dunia.

Setelah merasa puas, pria itu menyimpan foto janin anaknya dengan baik di dalam dompet. Mengusapnya sekali lagi dan menjadi tidak sabar berkali-kali.

Tenang Hoseok tenang. Jangan terlalu antusias.

Hubunganmu dengan Jihye masih jalan di tempat, Seok, batinnya mengingatkan.

Jika terus begini, Hoseok tidak tahu apakah ke depannya bisa menghadirkan keluarga yang sempurna untuk anaknya. Dia dan Jihye tidak pernah stabil. Kadang diam-diaman, kadang saling perhatian, kadang kaku dan canggung seperti dua orang tanpa ikatan.

Apa memang harus terus seperti ini?

Hoseok sudah berulang kali mengambil inisiatif untuk pendekatan. Mengambil langkah pertama. Namun sekeras apa pun dia berusaha merengkuh Jihye, perempuan itu tetap menutup diri.
Apa Hoseok tidak semenarik itu bagi Jihye?

Apa yang kau pikirkan, Jung Hoseok! Tentu ini bukan tentang hal itu!

“Memangnya kau sudah mulai tertarik dengan Jihye?” tanya Namjoon, kakak sepupu yang dekat dengan Hoseok memberi komentar untuk gelisah hatinya. Lama tidak bertemu, ternyata Namjoon masih tetap menjadi tujuan Hoseok untuk mencari solusi. Meski tidak menceritakan masalah keluarganya dengan detail, Hoseok rasa Namjoon cukup paham dan lebih bijaksana untuk bisa memberinya saran.

“Dia istriku Hyung. Bagaimana aku tidak tertarik?” balas Hoseok, meski dalam hati mengumamkan pertanyaan yang sama.

“Kalian bahkan menikah karena perjodohan. Aku tidak lupa itu.” Namjoon meletakkan dua kaleng soft drink pada meja kecil di hadapan Hoseok. “Tapi jika dipikir benar juga. Tidak mungkin Jihye bisa hamil kalau kau tidak tertarik padanya.”

Mendengar gelak tawa Namjoon setelahnya, telinga Hoseok terasa panas. Dia bahkan hanya melakukannya sekali dengan Jihye. Sialnya, dia tidak ingat detailnya sama sekali.

Bagian ini tentu tidak perlu diceritakan. Bisa semakin puas Namjoon menertawainya nanti.

“Hyung, aku serius!” protes Hoseok. “Aku jauh-jauh kemari sepulang dari restoran bukan untuk mendengar ejekanmu.”

“Kau perlu solusi macam apa, Jung Hoseok? Dia istrimu, harusnya kau yang lebih tahu tentang dia.” Namjoon meraih satu kaleng yang tersaji, membuka tutupnya dan meneguk minuman bersoda di dalamnya.

“Tapi dia terlalu tertutup, Hyung. Kau sendiri bilang kita memulainya dengan perjodohan. Kami bahkan tidak saling kenal sebelum menikah. Kurasa sampai saat ini aku masih orang lain baginya.”

“Bagimu sendiri bagaimana?”

“Apanya?” Hoseok tidak begitu menangkap maksud pertanyaan Namjoon.

“Apa Jihye masih orang lain bagimu?”

Hoseok menjawab mantap, “Tentu bukan. Dia istriku, Hyung. Calon ibu dari anakku.”

“Kalau begitu kenapa bukan kau yang terlebih dahulu menjadi terbuka?”

“Aku sudah melakukannya.”

Namjoon meneguk kembali isi kalengnya.

“Termasuk terbuka tentang alasan kenapa kau mau menerima perjodohan dengan Jihye?”

Hoseok terdiam. Merasa tidak mempunyai jawaban yang tepat untuk itu. Jawabannya tentu belum, tapi …

Apa itu perlu untuk dilakukan?

xxxxxx
Aku tuh lagi galau dua harian ini, wkwk terus moodnya membuatku bisa ngepost part ini.
Jadi, terima kasih, kamu yang sudah membuatku galau.
Gapapa. Baik-baik kamu ya!

Kalian yang baca ini juga harus selalu baik-baik, yaa!
Terima kasih sudah membaca sampai sini

22 Juni 2020

House of Cards✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang