0.7 Out or sin?

682 137 48
                                    

Rasanya telapak kaki ini akan hancur lebur di tengah jalan. Ke sana dan kemari mencari pekerjaan dengan berjalan kaki sehabis pulang sekolah, sesulit itu, jika saja Seokjin bukan si antisosial mungkin dia bisa bertanya kepada temannya, barangkali ada yang dapat membantu.

Pada akhirnya ia tertawa kecil, sejemang mengingat perihal kata teman.

Selalu klise, Seokjin tahu, menjadi seorang pelayan di sebuah kafe tidak bisa membantu besar dirinya untuk keluar dari perkara ini. Kendati demikian, dia mau bagaimana lagi? Bekerja dan sekolah, Seokjin harus mampu mengatur waktu.

"Mulai besok kau sudah bisa bekerja disini, nak."

Mencari uang sekitar 17 juta won dengan menjadi seorang pelayan sebuah kafe di kota Seoul. Apa bisa? Bisa saja. Namun harus berapa lama? Berapa lama Seokjin harus bertahan menjadi sebuah sampah yang diinjak brutal di dalam kelas?

"Terimakasih, Paman Oh!"

Selepas itu Seokjin duduk di halte, menarik napas secara rakus untuk di buang melalui tempo yang panjang agar setidaknya dadanya bisa tenang sebentar saja sekaligus membatalkan rencana telapak kakinya yang akan hancur.

Lagi-lagi Seokjin harus pulang ketika baskara berganti candra, cerah berganti gelita, lalu dinginnya malam yang menyelimuti tubuhnya yang hanya dilapisi selembar seragam sekolah tipis. 

Seokjin membuka kelopak kala mendengar decitan roda bus terbentur pada permukaan aspal hitam, ia bangkit, menghempas lemas punggung pada kursi bus menatap hamparan jalan, di dalam kepalanya bercokol kalimat tanya; bagaimana rasanya berbaring di atas aspal lalu diinjak oleh truk?

Ya, maaf, Seokjin kehilangan seperempat kewarasannya.

"Aku pulang!"

Kosong, tidak ramai seperti dulu. Memang sedari awal telah berubah, biasanya ia dan Yoongi akan setiap hari dijemput dan diberi pelukan saat pertama kali bertemu usai menghabiskan waktu di sekolah.

Maka dari itu, ia melangkah gontai, masuk ke dalam kamar. Meletakkan ransel ke sembarang arah, membaringkan tubuh dan menutup mata sampai menjumpai pagi.

~~~

Untuk pertama kalinya Seokjin merasakan lelah fisik yang hebat, entah karena dirinya yang selalu serba ada tanpa harus bekerja keras atau mungkin karena perutnya terus kosong sejak siang tadi atau mungkin memang karena kedua faktor tersebut. Intinya dia lelah, ingin berbaring di atas kasur layaknya ia yang hidup normal seperti dahulu.

Tetapi semakin malam pelanggang kafe kian ramai berdatangan, maka dari itu Seokjin harus mengeluarkan tenaga ekstra sekaligus gerak gesit yang tak main-main.

Begitu terus setiap hari, Seokjin sudah menjalani pekerjaan paruh waktunya ini selama satu bulan dan hanya mendapat upah yang tidak banyak, bahkan kecil sekali untuk menempuh 17 juta won. Selama itu pula lebam berwarna keunguan tak pernah absen bertengger di kulitnya.

"Sore Seokjin—apa tidak bisa datang kemari tanpa memar?"

Yang mengomel itu namanya Ken, teman kerja Seokjin yang cerewet. Seokjin senang ada yang tidak menyerah mengajaknya untuk berteman walau kali pertama itu seringkali Seokjin abaikan.

"Tidak bisa sebelum hutangku selesai."

"Teman sekolahmu tidak sabar sekali, ya! Kurang ajarnya tidak bisa ditoleransi. Seharusnya kau bisa melapor ke sekolah kalau kau ini dijadikan bahan rundungan."

CalamityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang