Otak milik Seokjin secara otomatis hanya menangkap kalimat yang terakhir milik Taehyung. Benci. Membuat pemuda tersebut mendadak menjatuhkan alat tulis, dan berbalik canggung pada Taehyung yang masih merajuk dengan kepala yang terkulai di atas meja belajar. Seokjin menggeleng dengan cepat.

"Benar, tidak bohong kalau Hyungie tidak benci Taengie?" kepala Seokjin menggeleng lagi, lebih cepat. Membuat bocah sepuluh tahun itu tersenyum kotak, sedikit tertawa memperlihatkan giginya yang baru saja patah karena terjatuh di perosotan sekolah. "Kalau begitu Hyungie sayang pada Taengie, 'kan, artinya?"

Cukup lama membeku, Seokjin akhirnya mengangguk. "Iya."

Taehyung yang mendengarnya, lantas seolah baru saja diisi amunisi pada tubuhnya yang bisa meledak kapan saja saking senangnya. "Ya sudah, Taengie senang. Walaupun Hyungie aneh, tapi Taengie setidaknya punya teman untuk berbicara—" si Hwang bungsu tersebut lantas mendadak bungkam sejenak, ia membenarkan posisinya yang kali ini berdiri tegak di sisi meja belajar. "Walaupun lebih banyak Taengie yang berbicara, sih, tapi tidak apa-apa, deh."

"Maaf—Taehyung?" Seokjin meresponsnya dengan aneh.

Bocah tersebut merengut, sambil berusaha menatap kakaknya yang selalu mengindar kontak mata dengannya. "Lho, Hyungie tidak salah, kok, Taengie bukan sedang memarahi Hyungie. Jadi, kenapa meminta maaf?" Seokjin tak menjawabnya. "Walaupun Hyungie itu aneh, tapi Taengie senang punya Hyung yang pintar. Setiap di sekolah Taengie pasti selalu bilang kalau Taengie itu punya Hyungie yang calon dokter, lho. Hebat, 'kan?"

Bocah tersebut tertawa sendiri, seolah dirinyalah yang sedang dibanggakan. "Ayah sibuk bekerja, ibu juga sama saja, jadi Hyungie nanti kalau sudah jadi dokter jangan lupa dengan Taengie, ya. Walaupun nanti Taengie yang terus berbicara, Taengie tidak apa-apa. Daripada kesepian, Taengie tidak mau. Sekarang kita main lempar bola saja, ya, Hyungie?"

Seokjin masih diam, lalu berniat mengambil alat tulis yang terjatuh, tetapi dengan cepat Taehyung yang sudah mendengkus di sana, cepat berbicara lagi, "Kalau tidak dijawab, itu artinya Hyungie setuju main lempar bola!" Ia merajuk lagi, lalu berniat meninggalkan kamar milik kakaknya dan dengan cepat berlari ke gudang untuk mengambil bola. "Taengie ambil bolanya dulu, ya, Hyungie. Nanti sesudah ini janji bermain lempar bola!"

Namun setelah memori itu berputar di alam bawah sadar Seokjin, semua itu mendadak berhenti dengan gelegak nyeri di dalam dada setiap kali mengingatnya. Sebab, sesaat Taehyung hilang dari kamarnya, Seokjin hanya bisa mendengar suara benturan cukup kuat yang disusul dengan vokal dari tangisan bocah itu.

Taehyung terjatuh dan tertimpa lemari besi. Bocah itu menangis kuat, membuat ayah dan ibunya lantas datang dengan segera. Setelah itu, tak ada lagi yang sama. Sebab Hwang Seokjin hanya berdiri di ambang pintu dengan perasaan bingung dan tangan yang bergetar. Adiknya menangis, dan kedua orang tuanya menyalahkan semua pada Seokjin sampai membenci dirinya hingga mati.

"Cukup kau yang cacat, jangan buat adikmu berakhir seperti dirimu!"

Seokjin membuka kedua matanya yang terasa basah.

Kepalanya pusing bukan main seolah baru saja tebentur batu saat terjatuh dari sisi tebing, dan rasanya seperti siap terbagi menjadi dua. Dadanya bergemuruh cukup kuat dengan produksi keringat yang berlebihan. Wajahnya yang sejak tadi tertempel pada stir mobil terasa sedikit berminyak. Begitu pula dengan surai hitam sedikit panjang yang sedikit tak tertata rapi. Pukul sepuluh pagi, rupanya ia masih terlihat cukup kacau. Jangankan memikirkan mandi, Seokjin bahkan baru tertidur selama dua jam untuk hari ini.

Pria tersebut tertidur setelah mengulas semua laporan hasil forensik di dalam mobil yang masih terparkir di gedung UIR. Ia memutuskan untuk percaya dengan saran dari Yoongi untuk tak menutupi apa pun, meski dalam keadaan terburuk sekali pun. Laptop yang berada di atas jok di samping rupanya sudah mati dengan sebuah sticky note di sana.

[M] OUT OF BREATH | ON HOLD Where stories live. Discover now