flashback

41.2K 663 12
                                    

Washington DC.

Amanda Jenifer Arvey ....

Aku duduk di ayunan belakang rumah sambil memeluk boneka beruangku dengan erat, dapat kudengar dengan jelas suara derap kaki berjalan menghampiriku.

"Jenny, mulai sekarang dia akan menjadi pengawal pribadimu, dia adalah salah satu anggota terbaik di salah satu agen rahasia ternama, dan Daddy harap dia akan bisa menjagamu."

Aku masih memalingkan wajahku saat Daddy terus bercerita tentang betapa hebatnya orang yang sudah kesekian kalinya diperkenalkan untuk menjadi pengawal pribadiku. Jika aku menolak lagi, pasti Daddy akan membawa lebih banyak orang-orang yang akan terus mengikutiku kemana-mana ini. Bahkan di usiaku yang sudah 19 tahun aku tidak bisa hidup bebas layaknya gadis-gadis remaja pada umumnya, aku selalu dijaga ketat oleh pengawal-pengawal pribadi daddyku.

"Perkenalkan, Nona nama saya William Robbert Wiltson, 27 tahun. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik."

Aku memutar kepalaku melihat orang itu dengan jenggah, tapi mataku langsung terpaku saat melihat wajahnya.

Pria di depanku itu benar-benar sangat tampan, matanya kecil dengan pupil hitam legam, hidung manjung dengan rahang kokoh, serta bibir tipis nan seksi terlihat begitu sempurna. Hatiku tiba-tiba merasa tak karuan, terlebih ada sesuatu di dalam diriku yang melonjak saat melihat pria bernama William Robert Wiltson itu.Tanpa sadar aku pun mendesah pelan membayangkan hal-hal panas yang bisa kulakukan dengan pria yang ada di depanku ini. Ya Tuhan, bahkan seumur hidupku aku tak pernah berpikiran sekotor ini pada pria mana pun, dan pria ini berhasil membangunkan birahiku.

*****

Hektaran lahan gandum yang mulai menguning terlihat seperti lautan emas dari kejauhan. Tak jarang terlihat berapa petani yang tengah sibuk dengan sapi-sapi perah mereka, memerah susu sapi atau bahkan hanya sekedar membawa sapi-sapi itu ke bukit yang dipenuhi rerumputan hijau. Canda dan tawa terdengar di sela-sela kegiatan mereka, bahkan tak jarag terlihat anak-anak kecil yang tengah kejar-kejaran atau pun sedang bermain air di sungai kecil yang tak jauh dari padang ilalang. Di ujung desa yang tampak begitu asri itu ada sebuah bangunan kecil, di depan rumah mungil itu ada pohon besar yang tampak begitu rindang. Asap dari cerbong rumah mengepul ke atas, seolah menandakan si empunya sedang memasak atau pun menghangatkan diri di sore yang begitu indah. Bahkan langit pun menggoreskan warna jingganya sampai kecakrawala, membuat matahari malu-malu untuk menampakkan diri sampai akhirnya dia tertidur.

"William, bisakah kita ke kota? Aku ingin kesana untuk membeli beberapa keperluan pernikahan kita."

Wanita berambut hitam sebahu itu tampak tengah memainkan jemari mungilnya di dada bidang lelaki yang disebut 'William'. Mata bulatnya memandang ke arah lelaki yang tengah merengkuhnya tanpa berkedip, seolah itu adalah jurus rahasia untuk membujuk sang kekasih.

"Kenapa harus ke kota, Rose? Bukankah kita bisa membeli semua perlengkapan pernikahan kita di sini? Di pasar juga punya segalanya, kau tahu,"

Lelaki berparas tampan itu mencoba menolak ajakan kekasihnya, tapi usahanya gagal. Sang kekasih, Rose malah merajuk dan memunggunginya

"Kau tahu kita tak pernah kesana, Rose. Bagaimana jika kita nanti tersesat? Kita tidak akan bisa pulang kesini. Kita bahkan tidak pernah pergi ke kota sekalipun, jadi bagaimana bisa kau mengajakku ke kota dengan tiba-tiba?"

"Tapi aku mau kesana William, sungguh! Tak bisakah kau menuruti permintaanku ini sebelum kita menikah? Apa kau tak berpikir mungkin ini adalah permintanku yang terakhir."

"Apa maksud ucapanmu itu! Apa kau berniat mencampakanku setelah ini?" Mata kecil Wiliam membulat membuat Rose menggerucutkan bibir mungilnya, bahkan mereka masih berada di ranjang yang sama, setelah percintaan panas mereka beberapa saat yang lalu. "Oke kita pergi kesana, dan kau harus berjanji jangan lagi berkata seperti itu untuk mengancamku, aku tak mau kehilangan dirimu, Rose, sungguh!"

Rose memeluk tubuh kekasihnya dengan sangat erat, senyuman itu pun terukir indah di wajah cantiknya. Dia tahu jika kekasihnya begitu mencintainya, bahkan setelah beberapa kali Rose meninggalkannya untuk pria lain, dan dengan semua ancaman serta sikap manjanya, pria ini masih saja mencintainya, lagi dan lagi tanpa berkurang sedikit pun.

*****

"Jadi apa yang kita lakukan di sini? Kita sudah berjalan tiga kali melewati gang ini, Rose, apakah kau tak berpikir jika kita telah tersesat?"

William mencoba mengajak tunangannya itu berbicara, tapi Rose seolah mengabaikannya.

"Sayang, tidakkah kau tahu jika aku tengah menikmati indahnya kota besar? Banyak bangunan megah, dan aku baru kali ini melihatnya."

"Tapi kita tersesat, Sayang, apa kau tak mengkhawatirkan itu?"

Rose memandang ke arah William, dia menjinjitan kakinya kemudian mencium bibir lelakinya itu sekilas. "Tidak ... aku yakin selama ada kau di sini aku akan baik-baik saja,"

William tersenyum mendengar ucapan Rose, meski dia tak bisa bela diri tapi untuk melindungi Rose, dia berjanji akan melakukannya dengan sepenuh hati. William menarik tubuh Rose sampai berhimpit dengan dinding, menatap mata hitam legam Rose dan meraih dagu kekasihnya. Pelan tapi pasti William mulai melumat bibir mungil Rose, memasukkan lidahnya dan mulai bermain dengan lidah yang seolah sudah menjadi candu baginya.

"Stop, Sayang, kau harus mecari penginapan... kau tahu, sekarang sudah terlalu gelap untuk kita pulang."

"Oke, duduklah di sini, aku yakin kau pasti sangat lelah karena seharian kita telah berjalan begitu jauh. Aku akan pergi cari penginapan, jangan pergi ke mana pun sampai aku kembali."

William berusaha berjalan agar dia bisa keluar dari gang-gang kecil yang membuatnya pusing. Terlebih, ini adalah awal musim dingin, dan dapat dipastikan salju akan turun.

"Di mana para mafia sialan itu! Aku yakin jika mereka lari kesini!"

William memelankan jalannya ketika ada beberapa orang berjas mulai menatapnya dengan tatapan tajam.

"Kau salah satu mafia yang menyamar?" hardik salah satu di antara mereka. Spontan mata William membulat. Dia pun mundur hati-hati, tapi para lelaki berjas itu seolah tak ingin membiarkan dia untuk kabur.

"Kalian salah sangka, aku hanya penduduk desa yang tersesat... aku sedang mencari penginapan, sungguh!"

Lelaki pertubuh kurus menatap rekan-rekannya seolah memberi intrupsi, mereka maju dan mengepung William kemudian mulai memukuli William membabi buta. William hanya bisa menahan sakit, untuk melawan dia takut, terlebih kemampuan beberapa lelaki ini pasti jauh dari dirinya yang tak bisa berkelahi sedikit pun.

Di sisi lain Rose tengah berjalan, mencoba mencari keberadaan tunangannya, sudah hampir satu jam tunangannya itu pergi tapi sampai detik ini belum juga kembali menemuinya Apakah William tersesat? Atau William belum menemukan penginapan? Rose menatap bungkusan yang ada di tangannya, dia tersenyum mengingat ketika tadi dia mampir di sebuah kedai kopi, dan bercerita jika dia jauh-jauh datang dari desa kesini hanya untuk membeli perlengkapan pernikahan. Pemilik kedai itu memberi hadiah untuknya juga untuk calon suaminya, William. Senyum Rose semakin mengembang ketika butiran putih itu mulai berjatuhan, membuat dia menengadahkan tangannya di langit agar benda putih itu ada di telapak tangannya.

BUK! BUUKK!!

Rose memiringkan wajahnya saat mendengar keributan itu, matanya membulat, mulutnya terkatup sempurna, bahkan untuk berjalan pun kakinya terasa begitu berat. Matanya mendadak terasa panas ketika melihat beberapa orang memukuli William, calon suaminya. Tanpa pikir panjang Rose berlari mendekati kerumunan itu. Hatinya terasa begitu sakit saat melihat William, sudah babak belur karena lelaki-lelaki biadab yang mengeroyok William tanpa ampun.

"Apa yang kalian lakukan pada tunanganku!" teriak Rose menatap orang-orang berjas itu satu-satu. Lelaki bertubuh kurus mulai mendekati Rose, membuat Rose sontak mundur dan mulai ketakutan.

"Rose, lari Rose!" teriak William. Namun sayang, Rose sudah terkepung dan tak bisa berbuat apa-apa. Pelan, lelaki kurus itu mendekati Rose dan...

JREEP!

Mata William membulat bersamaan dengan luruh tubuh Rose. Dia menangkap tubuh Rose yang sudah mulai berdarah.

"Rose! Banguuun kumohooon!" teriak William ditengah isak tangisnya.

My Hot SheriffWhere stories live. Discover now