1 / 2

1.5K 77 3
                                    

"Tuk!" Suara shuriken terakhir yang beradu dengan target papan kayu menandakan berakhirnya latihanku.

Aku pun merebahkan diri di atas hamparan rumput hijau, nafasku sedikit tersengal. Meskipun lelah, aku merasa puas dengan latihan hari ini. Akhirnya aku bisa menguasai teknik melempar shuriken yang baru dengan sempurna, besok-besok aku pasti akan menunjukkan kemajuanku pada papa saat ia pulang.

Kesiur angin yang sejuk membuat kelopak mataku sedikit berat. Aku pun memutuskan memejamkan mata, mencoba menikmati keheningan yang ditawarkan oleh alam sekitar. Sesuatu yang jarang kurasakan akhir-akhir ini, mengingat aku sekarang sudah menjadi genin dan berada dalam tim yang berisikan 3 orang. Sehingga aku lebih sering berlatih bersama teman-temanku daripada berlatih sendiri seperti saat ini.

Baru sekejap rasanya aku menikmati hening, sayup-sayup telingaku mendengar suara dari arah hutan, yang letaknya bersisian dengan tepi sungai tempatku berlatih. Aku pun membuka mataku, suara itu amat familiar. Suara yang sama seperti suara yang ia hasilkan ketika melempar shuriken pada papan target kayu.

Dilanda rasa penasaran, aku pun bangkit dari posisiku dan mencoba mencari persisnya dimana suara itu berada. Setelah beberapa saat menyusuri rimbunnya pepohonan, aku berhenti dan bersembunyi di atas pohon ketika melihat ada seseorang sedang berlatih di tengah hutan ini.

Terlihat begitu mengagumkan saat ia melompat ke atas kemudian membalikan badannya dan dengan cepat melempar satu persatu kunai yang ada di tangannya sambil memejamkan mata. Aku belum pernah melihat teknik seperti itu sebelumnya.

"Keren," gumamku tanpa sadar. Kunai-kunai itu bahkan tidak meleset sedikitpun.

Karena terlalu fokus, aku tidak sadar bahwa dahan yang kunaiki ini ternyata sedikit rapuh. Aku baru menyadari ketika mendengar suara dahan yang berderak, namun terlambat. Belum sempat aku melompat, dahan ini terlebih dahulu jatuh.

"Aaah!" Bruk! Untung saja, aku berhasil mengembalikan keseimbanganku di saat-saat terakhir, sehingga aku tidak ikut terjatuh bersama dahannya. Tapi yang jadi masalah, kacamataku terlepas dan entah sekarang jatuh dimana.

Aku yang sibuk mencari tak menyadari seseorang yang tadi kuintipi kini sedang berjalan menghampiriku.

"Kau tak apa?"

"Eh?"

\\\\

Aku menatap sedih kacamata di tanganku. Lensanya retak, rupanya tak sengaja kuinjak tadi.

"Itu kacamata kesayanganmu ya?" tanya orang disebelahku.

Benar, aku kini sedang duduk bersama pria yang tadi berlatih kunai. Aku tidak mengetahui namanya, tapi kupikir ia orang yang baik. Walaupun tidak bisa melihat begitu jelas, aku mengisar umurnya tidak lebih tua dari papa dan mamaku.

"Ini diberikan Papaku ketika ulang tahunku kemarin," jawabku.

Pria itu tersenyum kecil, "Yang penting kau tidak terluka, kan?"

Aku hanya mengangguk kemudian memeluk lututku sambil menopang dagu di atasnya.

"Papamu pasti sangat baik ya?" tanya pria itu.

"Eh..." Aku terdiam sejenak. Pertanyaan itu benar-benar diluar dugaanku, sebenarnya. Tapi entah kenapa aku begitu tertarik untuk menjawabnya. "Yah, meskipun Papa jarang berada di rumah, tapi ketika pulang Papa pasti meluangkan waktunya untuk melatihku. Kadang tingkahnya memang sedikit aneh dan menyebalkan, tapi bagimanapun ia Papa yang hebat." Senyum tersungging di bibirku ketika aku mengatakannya. Aku jadi bertanya-tanya dimana dan apa yang sedang dilakukan Papaku di tengah misinya sekarang.

"Begitu. Apakah Papamu sering bercerita banyak hal?"

"Tidak juga. Papaku itu orang yang irit bicara. Kata Mama, Papa memang seperti itu dari kecil. Dan Mama juga bilang, sebenarnya ia merasa sedikit senang saat ia melihat Papa akhir-akhir ini sering tersenyum." Tanpa kusadari, aku jadi bercerita banyak hal pada orang yang baru kutemui ini.

"Begitu, ya. Baguslah..." Pria itu berkata pelan kemudian menatap ke arah depan.

Kami sama-sama diam. Masih sambil bertopang dagu, aku menolehkan kepalaku ke arah pria itu. Dengan jarak yang dekat ini, aku bisa memperhatikan jelas wajahnya. Gurat-gurat wajah itu...terasa familiar. Entah dimana, aku seperti pernah melihatnya?

"Sudah hampir petang, kau tidak pulang?" Suara pria itu kembali memecah keheningan.

"Aah!" Aku memekik pelan begitu melihat langit yang mulai berwarna jingga. "Aku harus bergegas membantu Mama menyiapkan makan malam."

Aku pun bangkit berdiri dan diikuti pria di sebelahku.

"Paman, terima kasih sudah menolongku hari ini. Maaf aku sudah mengganggu Paman berlatih. Omong-omong, teknik Paman tadi keren sekali. Kunainya tidak ada yang meleset sama sekali, lho! Em...apa...besok-besok Paman mau mengajariku?" tanyaku sedikit malu-malu. Bagaimanapun aku kagum dengan pria yang berada di hadapanku saat ini. Aku akan sangat senang kalau paman itu mau mengajariku kalau papa sedang tidak berada di desa.

Pria itu tersenyum dan mengisyaratkanku mendekat. Aku menatapnya bingung, namun menurut. Betapa terkejutnya aku ketika pria itu mengetukkan dua jarinya di dahiku.

"Maaf, Sarada. Mungkin lain waktu," kata-kata itu... Papa...

Aku membulatkan mataku. "Jangan-jangan! Paman..."

Pria itu menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya yang masih memperlihatkan senyuman manis.

"Jangan beritahu siapa-siapa, ya. Ini rahasia kita berdua. Terima kasih telah menjaga adikku."

Usai mengatakannya, pria itu berjalan menjauhiku. Semakin menjauh dan menjauh sampai-sampai aku tidak bisa melihat sosoknya lagi.

\\\\

"Paman!" Aku berteriak kencang. Mataku segera menyusuri sekitarku, ini... tempat latihanku di tepi sungai.

"Mimpi, kah..?" gumamku. Rupanya aku terlalu kelelahan sampai-sampai aku ketiduran. Langit mulai gelap, matahari sudah beranjak kembali ke peraduannya. Aku juga harus bergegas pulang.

Eh? Aku baru menyadari tenyata aku tidak memakai kacamataku. Segera kutengok ke samping kanan dan menemukannya tergeletak persis di sebelah tempatku tertidur tadi.

Dan kacamata itu retak di bagian lensanya, persis seperti apa yang ada di dalam mimpiku.

Jari-jariku bergerak dengan sendirinya menyentuh bagian dahiku yang tertutup ikat kepala seperti biasanya. Entah kenapa, ketukan di dahi itu terasa nyata sekarang.

Sambil menatap langit senja, aku berbisik dalam hati.

Paman, sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal lagi padamu. Tapi untuk saat ini aku berjanji, aku pasti akan selalu menjaga Papa dengan baik.

Uncle Donde viven las historias. Descúbrelo ahora