F L O W E R|1

97.2K 5.9K 128
                                    

Seumur hidup menikah dengan orang yang sama sekali tidak kukenali adalah suatu hal yang paling sulit untuk dijalani. Aku tidak pernah membayangkan ini akan terjadi.
Aku dipaksa untuk beradaptasi pada hal baru, termasuk jarang sekali berkomunikasi dengan Mas Arka.

Bukan aku tidak mau, terkadang aku merasa takut memulai bahkan mengutarakan ketidaksukaanku terhadap kebiasaan-kebiasaan kecilnya. Salah satunya ialah begadang dan minum kopi terlalu banyak. Hal tersebut kuanggap sebagai pemakluman karena kupikir dengan cara itu, aku bisa membuatnya nyaman sebagai teman begadang mengerjakan kerjaannya.

Setahun menikah dengan mas Arka, akhirnya aku sedikit tahu bahwa dia adalah tipe lelaki pekerja keras. Misalnya saja, saat jam tujuh pagi dia sudah berangkat ke kantor, dan terkadang pulang ke apartemen sampai jam sembilan malam karena pekerjaannya yang menumpuk. Biasanya dia akan segera mandi. Dan setelahnya, dia sibuk lagi dengan laptop di ruang tengah. Seperti sekarang, dia tengah sibuk di depan laptop padahal sudah nyaris jam dua belas malam.

Aku ketiduran setalah salat Isya, kemudian terbangun dan sadar bahwa waktu sudah larut malam. Aku belum menyiapkan makan malam untuk Mas Arka dan aku merasa bersalah. Meskipun makanan yang kusediakan tidak pernah sekalipun dia sentuh. Namun, sebagai istri haruslah melakukan tugas seperti perempuan pada umumnya.

" Maaf, Mas. Anin ketiduran," kataku sambil menalikan ujung tali jilbabku ke belakang kepala. Aku lanjut bertanya, "Mas sudah makan?"

"Udah," jawabnya singkat tanpa melihatku.
Perlahan, aku menghela napas. Aku sedikit mengerutuki kebodohan atas tindakanku sendiri. Bagaimana bisa aku ketiduran dan lupa memanaskan masakan sore tadi?

"Mas, beneran udah makan? Anin bisa panasin soto yang dimasak sore tadi. Ada acar kesukaan Mas juga," ucapku menawarkan.

Pergerakan jari Mas Arka yang sibuk mengetik terhenti seketika. Aku terus memperhatikan. Kutatap ekspresi wajahnya karena khawatir jika dia marah atau membutuhkan sesuatu yang lain.

"Saya sudah makan di luar," ucapnya tanpa melihatku.

Dadaku mandadak sakit tatkala dia tiba-tiba bangkit dari sofa, lalu berjalan melewatiku begitu saja tanpa sepatah kata pun.

***

Sudah satu tahun aku menjalani kehidupan rumah tangga yang aneh. Tinggal bersama di sebuah apartemen dengan lelaki yang tidak pernah menganggapku. Sejujurnya, ada rasa ingin menyerah, apa lagi kalau menghadapi sikap dingin Mas Arka. Namun, aku takut jika membuat Ibu dan Bapak kecewa tatkala mengetahui kondisiku yang ingin menyerah dalam berumah tangga.

Jika Mas Arka dan keluarganya mau memaafkan kami, kami sudah sangat bersyukur karena aku berpikir sepertinya mustahil bisa membangun rumah tangga secara normal dengan keadaan seperti ini. Menurutku wajar jika Mas Arka begitu marah kepada kami. Laki-laki mana pun pasti akan marah tatkala pada hari pernikahannya ditinggal kabur oleh mempelai wanita. Terlebih lagi, aku tahu pengorbanan Mas Arka untuk Kak Jasmine yang sudah terlalu banyak.

Napasku berembus berat setelah mendengar suara pintu kamar Mas Arka yang tertutup. Dalam setiap doa, aku berharap Mas Arka bisa membuka hati untuk menerimaku sebagai istri. Setidaknya, membiarkanku untuk mengurus keperluan rumah dan melayaninya saja itu sudah cukup. Meskipun tidak akan sebanding dengan sakit hatinya, setidaknya aku merasa sedikit berguna untuk dirinya di sini.

Aku memutuskan ke dapur guna menyimpan lauk dan membereskan perabotan yang belum sempat kupindahkan. Akan tetapi, betapa terkejutnya diriku saat melihat kondisi dapur yang sudah rapi. Tanpa sadar aku kembali menoleh ke kamar Mas Arka dan aku pun menerka-nerka. Apa mungkin dia yang merapikan perabotan dan semua piring yang kucuci tadi?

***

"Hari ini nggak usah nunggu. Saya nggak pulang," ujar Mas Arka.

Sebenarnya aku sangat ingin bertanya ke mana dia akan pergi sampai tidak pulang seharian, dan sepenting apa urusannya. Tapi rasanya, lidahku kelu untuk merangkai kata-kata. Rasa ingin tahu yang muncul dari kepalaku hanya bisa kupendam. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mengangguk sebagai respons perkataannya itu.

"Oh, iya, saya sudah transfer jatah belanja bulanan ke rekening kamu," sambungnya sambil memakai arloji di tangan kirinya.

"Uang, Mas, di rekening itu masih cukup untuk belanja bulanan. Harusnya nggak perlu ditambahin lagi."

Aku nyaris tersedak di saat Mas Arka menatapku tajam. Saking gugupnya, aku langsung menunduk karena merasa jika ucapanku mungkin menyinggungnya.

"Mau kamu gunakan atau tidak, sudah menjadi kewajiban saya untuk memberimu nafkah," katanya, lalu berlalu meninggalkanku yang masih menunduk.

Hatiku diliputi rasa bersalah karena sudah membuat Mas Arka tersingung. Ya ... Allah, setahun hidup dengannya kenapa tidak bisa membuatku tersadar jika seharusnya aku mengiyakan terhadap apa pun keputusan Mas Arka. Sebenarnya, aku tidak bermaksud menolak pemberiannya, tetapi nominal uang yang setiap bulan dikirimkan olehnya terlalu besar untuk kebutuhan kami.

"Ya, Halo, La?" sapaku pada Lala, Adik ipar Mas Arka.

Sebenarnya salah satu hal yang membuatku sabar saat berada pada situasi seperti ini adalah keluarga Mas Arka yang sangat baik menerimaku. Padahal kalau dipikir-pikir, harusnya mereka membenci keluargaku karena sudah membuat malu keluarganya.
Tapi baik Ibu, Ayah mertua, dan kedua adik Mas Arka, Lala dan Dino, sangat baik dan perhatian kepadaku.

"Mbak, sibuk nggak?"

"Nggak La, ada apa?"

"Ikut Lala ke toko, yuk, Mbak!"

Aku tak langsung menjawab ajakan Lala. Aku telebih dahulu menimang apakah mungkin Mas Arka mengizinkanku untuk keluar tanpa sepengetahuannya? Tapi, tak ada salahnya juga jika aku mencoba meminta izin kepada Mas Arka terlebih dahulu.

"Mbak mau izin Mas Arka dulu, ya, La."

"Siap! Kabari Lala kalau Mas Arka mengizinkan. Nanti Lala jemput."

Saat sambungan telepon kami tertutup, aku segera berniat mengirim pesan kepada Mas Arka.

Mas Arka suamiku: Mas, Anin boleh ikut Lala ke resto?

Tak sampai tiga detik, ponselku berbunyi. Aku semakin kaget karena yang tertera di layar ponsel bukan hanya balasan Mas Arka, tetapi pangilan darinya.

"Mau ke sana sendiri atau dijemput Lala?"

Aku kesulitan menelan salivaku ketika mendengar pertanyaan Mas Arka yang tiba-tiba.

"Assalamalaikum, Mas." Aku lebih dulu mengucapkan salam, bukan karena mengabaikan pertanyaan Mas Arka.

"Waalaikumsalam."

"Iya, mau dijemput Lala, kalau Mas izinkan."

Mas Arka tidak kunjung menjawab, dan itu membuatku sedikit gelisah sembari menggigit pelan bibir dalam. Aku takut kalau Mas Arka tidak memperbolehkan.

"Minta Lala antar kalau urusan kalian sudah selesai."





Love
Rum

FLOWER [ TERBIT ]Where stories live. Discover now