Bab 5 Pilihan yang Tersisa

36K 2.4K 123
                                    

Kamar temaram, ditambah aroma mawar yang hangat dan lembut melingkupinya. Di luar, tak ada bintang yang nampak. Tertutup awan yang berarak dari langit utara. Sementara kabut makin menyelimuti bumi. Udara dingin menusuk kulit hingga terasa membekukan sumsum.

            Akan tetapi, sensasi dingin yang menggigil itu tidak dirasakan Wali. Bahkan boleh dikatakan bahwa sekarang darahnya mendidih. Tergoda oleh wanita yang sekarang diciumi tanpa jeda. Dua tangannya menjelajah, merasai kelembutan kulit Ulva sekaligus menikmatinya.

            “Apa kau yakin?” Wali menahan bahu Ulva, ia memastikan diri sebelum berbuat lebih jauh. “Ini terkesan terlalu buru-buru.”

            Ulva menaikkan sebelah bibirnya, melingkarkan lengannya di leher Wali kemudian mendekatkan wajah. “Tapi, ini terasa benar untukku.”

            Keduanya kembali berciuman dan Wali tidak lagi ragu untuk melepas gaun yang dikenakan istri yang ia nikahi tadi.

***

            Ini seperti sebuah mimpi buruk yang tidak diundang masuk tapi tiba-tiba muncul. Sayangnya, hal ini terlalu nyata untuk dikatakan sebagai sebuah mimpi. Wali masih duduk di atas sajadahnya. Dengan hati yang remuk seperti digada. Seperti yang dikatakan Ulva ketika masih sadar bahwa ia sedang berusaha melupakan lelaki itu. Wali mencoba mengerti dan memberikan kesempatan bagi Ulva untuk membuktikannya. Akan tetapi, rasanya tetap sakit saat Ulva memanggil nama pria lain di ranjang bersamanya, saat mencapai orgasme.

            Pria mana yang tidak cemburu? dia suami Ulva. Walau statusnya baru semalam, dia punya tanggung jawab. Dia sudah berkomitmen untuk hubungan serius ini.

            “Purnaaa….”

            Ulva mengigau dan masih memanggil nama pria lain. Wali menekan emosinya dan ia sadar, saat ia bersabar seperti ini hatinya kembali hancur berkeping-keping. Ia pun bertanya-tanya, bisakah ia tetap menyukai Ulva dengan kepingan yang tersisa? Terlebih, sampai kapan Ulva menyebut nama pria itu dalam tidurnya?

***

            “Kamu merokok?”

            Wali mematikan rokok mintnya saat Ulva duduk di sampingnya. Ia tidak perlu menyahut pertanyaan Ulva, kan? Toh, dia merokok untuk menenangkan dirinya. Menghargai betapa mengagumkannya momen semalam, juga betapa menghancurkan harapannya.

            “Apa melihat bintang di teras lebih menyenangkan ketimbang menemani istrimu tidur?”

            Ya, jauh menyenangkan daripada mendengar istrinya itu menyebut nama orang lain, hanya dalam hati, Wali menatap sekilas kemudian menyandarkan bahu. Ia masih mengabaikan Ulva. Tidak peduli bahwa sekarang Ulva curiga.

            “Kamu kenapa, sih?” pertanyaan itu terkesan kasar dan benar, Ulva kehilangan batas kesabaran, “apa semalam aku mengecewakanmu? Kamu ingin mengulanginya lagi?”

            Apa dalam pikiran Ulva, pernikahan hanya sebatas kebutuhan seks? Ia memejamkan mata, mencoba memahami kerangka berpikir wanita yang sudah ianikahi. Kalau dugaannya tepat, tentu omelan ibunya itu benar. Bahwa pernikahan bukan hanya sekedar akad. “Ada yang lebih mendasar daripada itu.” kalimat itu begitu datar. Ulva mengernyit, dia tidak pernah melihat Wali seperti ini. Pria di depannya biasanya terlihat ceria, optimis dan pandai merayu hingga rasanya mau muntah.

            “Misal?” Ulva memancing, ia melirik Wali yang belum melepas wajah flat.

            “Tentang kesetiaan, kejujuran dan penghormatan. Ketiga hal itu seperti mimpi.” Ia tersenyum skeptic, merasa frustasi dengan keputusan yang ia ambil tiba-tiba. Wali lebih suka menyebutnya sebagai kegilaan. Ya, mana ada pria menikah dalam satu malam?

            “Aku tahu,” Ulva menunduk, tahu kearah mana Wali mengajaknya bicara. Tentu, pria itu sedang menyindirnya. “Aku tahu dengan pasti.”

            “Lalu menurutmu bagaimana baiknya?” Kali ini Wali menoleh, menatap Ulva, mencari kejujuran di mata yang dingin—tak beremosi itu. “Kenapa harus aku? Aku bukan pelampiasan, pelarian atau hero yang bisa menerima semua itu. awalnya, kupikir kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu tapi apa yang kau lakukan semalam bertolak belakang dengan apa yang kamu katakan. Jadi, di bagian mana aku harus mempercayaimu?”

            “Bahwa aku istrimu.” Ulva menyahut singkat, “aku tahu, aku mengecewakanmu. Notabenenya, bukan kau yang menyakitiku, tapi aku menimpakan semua kepadamu. Manusiawi jika kau terluka. Aku tidak akan memarahimu. Tapi, kumohon, kau harus tahu bahwa aku istrimu.”

            “Tahu apa kau tentang hakikat seorang istri?”

            “Jika aku tidak tahu, aku tidak akan menantangmu menikahiku, yang akad nikah seseorang itu bisa mengguncang Arsy’ Allah karena besarnya tanggung jawab yang dipikul setelahnya.” Ulva mengepalkan tangan, menguatkan dirinya sendiri, “aku memang belum sempurna untukmu, hubungan kita bahkan baru dimulai.”

            “Karena hubungan ini baru dimulai, sebaiknya tidak perlu diteruskan. Ada banyak hati yang terluka karena ini.”

            Kalimat itu seperti petir yang menyambar tubuh Ulva, membakar dan menghanguskannya. “Apa maksudmu? Apa kau terluka? Aku sungguh-sungguh minta maaf.”

            “Minta maaf saja tidak cukup. Aku tidak bisa menerima maaf seseorang lalu esoknya ia harus meminta maaf lagi untuk kesalahan yang sama.” Wali berdiri, “jadi… sebelum terlambat, kau harus berpikir ulang.”

            Ulva mencegat Wali. “Berpikir ulang seperti apa? Bukankah aku sudah bilang, menikah denganmu itu benar menurutku?”

            “Menurutmu, bukan menurutku.” Wali menatap tajam, sekalipun diucapkan dengan nada lembut, berhasil membuat Ulva menggigit bibir.

            “Baiklah,” ia memejamkan mata, merasa konyol jika mempertahankan Wali sementara pria itu terlanjur kecewa padanya. “Kalau kau ingin berpikir, silakan. Aku akan menunggunya. Kuharap, apapun keputusanmu nanti, itu tetap keputusan yang terbaik.”

            Tak ada sahutan. Hanya napas mereka yang terdengar.

            “Aku sangat bersyukur jika kau mau bertahan denganku, namun bila komitmen awalku tidak cukup membuatmu percaya, kau…” Ulva berhenti hanya untuk melihat mata Wali, meyakinkan pria itu bahwa ia serius, “kau boleh meninggalkanku.” Ia membalik tubuh, meninggalkan Wali.

            “Gadis seperti apa dia?’ Gerutu Wali meninju udara dengan gemas, “dia ingin bertahan denganku, tapi membolehkan aku pergi. Apa dia sudah bodoh?” ia uring-uringan sendiri. “Kalau mau bertahan, ya bertahan saja. Tidak perlu ini-itu-ini-itu. Astaga, Wali…. Perempuan apa sih yang kaunikahi?!” pria itu mengusap wajah, menormalkan jalan pikirannya.

            Ternyata, menikah itu rumit. Tidak sesederhana pemikirannya sebelum ini. Dan jika masalah ini sudah rumit, kenapa malah ia perumit? Hah, menyebalkan sekali memikirkan ini, Wali mendesah bingung. Setelah ini dia akan membawa hubungan mereka kemana? Yang jelas, tidak ke Madagskar, lawakan dari sudut hatinya membuat ia nyengir.

            Ulva benar, tapi dia juga benar. Kalau dua-duanya benar, mana yang harus dipilih? Tidak mungkin Ulva memilih A, lantas dia hidup dengan cara B. mereka sudah menikah.

            Oh ya, menikah. Jika menikah diibaratkan sebuah perahu, bukankah perahu harus memiliki tujuan yang sama? Mungkin, beginilah alasan, kenapa Allah menciptakan akal untuk manusia. Seringkali perbedaan menciptakan perpecahan, padahal ketika seseorang memiliki akal, ia bisa berpikir untuk menyerasikan perbedaan itu. nah, kalau sudah begini… orang yang suka bermusuhan, berkomunikasi semau sendiri, menjudge seseorang tanpa objektif, adalah ciri-ciri manusia tidak berakal. Wali tertawa, bukankah itu dirimu sendiri? Ia bergidik ngeri, membayangkan betapa sia-sianya ilmu dan gelar yang ia peroleh hanya karena tidak mau bersikap bijak seperti orang-orang yang diberi akal. Bukankah sudah jelas dalam Al-Qur’an, Allah sering menyebut manusia dengan sebutan ‘hai orang-orang yang menggunakan akal’—bahasa sederhananya begitu—bukan menyebut menusia sebagai ‘hai orang-orang yang suka emosi’?

           TBC

Suami yang (Tak) DirindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang