Bab 2 Mata Es yang Panas

33.9K 2.5K 124
                                    

            “Selamat datang….” Kasir itu menyapa Wali dengan sederhana, jauh dari kesan ramah, juga tidak bisa dikatakan ketus. Wali berhenti sejenak, mengamati wajah gadis yang berdiri di depan computer—yang tadi menyapanya—tidak ada yang bisa iasimpulkan. Wajah itu tertutup topi.

            Wali melanjutkan langkahnya dan bingung sebab tidak tahu mana gadis yang bersama ibunya. Ia menghela napas, merasa begitu ceroboh. Baru saja ia mengambil ponsel, alat komunikasinya bergetar dan nomer telepon ibunya terpampang di layar.

            “Wali, dia memakai dress pink.” Ibunya tidak perlu berbasa-basi. Telunjuk Wali menggaruk pelipis. Bola matanya mengamati sekeliling. Setidaknya ada lima gadis yang memakai dress pink. Jelas, warna pink adalah warna girly yang pasaran.  “Rambut lurus sebahu.”

            Matanya memutar, mengabsen satu persatu gadis yang memakai dress pink. Pandangannya jatuh pada gadis yang duduk di dekat pintu masuk. Saat mata mereka ada pada satu garis lurus, gadis itu berdiri, tersenyum ramah. Wali menurunkan ponselnya setelah bilang bahwa dia sudah menemukan teman kencannya.

            “Wali,” ia mengulurkan tangan, si wanita masih tersenyum kemudian menjabat tangan Wali.

            “Anya.” Balasnya dengan sopan.

            Menarik. Pikir Wali, dia kemudian duduk setelah dipersilahkan Anya.

            “Maaf menunggu lama.”

            “Anytime is okay. Waktumu selalu berkualitas, berbeda denganku.” Jawab Anya memanggil pelayan.

            Kening Wali berkerut. Gadis itu sedang menyindirnya, ya?

            Penilaian berkurang.

            “Moccachino, tanpa krimmer, sedikit gula, setengah cangkir saja airnya.” Gadis itu berbicara pada pelayan dengan nada menyebalkan dan sok memerintah kemudian menyelipkan rambutnya di belakang telinga sebelum menatap Wali sambil mengurai senyum dibuat-buat, “mau pesan apa?”

            Bermuka dua. Simpul Wali selanjutnya. Sejak detik itu, Wali memutuskan untuk mengobrol searah. Dia sudah tidak berminat pada apapun yang ditunjukkan gadis itu.

***

            “Berapa?” Wali mengeluarkan dompet, menatap kasir yang tadi menyapanya dengan nada syahdu yang kering.

            “87.900, Pak.”

            “Pak? Hei, aku belum setua itu.” Wali berniat mengerjainya. Ia tidak gentar saat Ulva mendongak dan menatap dengan sepasang mata yang menyulap dua lututnya jadi es.

            “Mas.” Kata Ulva, memperbaiki sapaannya karena tidak mau memperpanjang masalah.

            “Kau tidak meminta maaf karena sudah memanggilku begitu?” Wali mendapati mata lawan bicaranya memutar, “aku tersinggung, asal kau tahu.”

            “Aku tidak tahu dan tak mau tahu.” Seperti anak panah yang dilesatkan pada jantung. Nyaris saja suara itu membuat organ pemompa darahnya berhenti berdetak.

            “Lihat, betapa sombongnya kau… ckckck. Bagaimana pelanggan di sini bisa betah? Layananmu sangat sinis.” Wali sok mengkritik, ia mengusap kening sebelum akhirnya menyembunyikan senyum miringnya.

            “Anda sudah membuat pelanggan lainnya mengantri, Pak.” Ulva menahan diri untuk tidak berteriak pada pria di depannya. “Tolong segera bayar jika Anda punya uang.”

            “Dan jika aku tidak punya uang, apa kau mau membayariku?” ia mengedip nakal. Dua tangan Ulva mengepal, siap meninju mulut Wali yang benar-benar membuat pertahanan emosinya goyah. “Kubilang, aku tidak mau kau panggil Pak.”

            Ulva mengendurkan ototnya yang menegang dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, yang bisa membuat ototnya rileks. “Mas…, tolong segera membayar. Anda sudah membuat antrian pelanggan mengular.”

            Oke, cukup. Masih ada besok, gadis ini pekerja baru, dia tidak boleh berlebihan. Anggap saja ini sebagai sapaan atasan yang baik pada bawahan yang malang. Ya, sesederhana itu. Wali mengeluarkan uang dari dompetnya. Menyerahkan pada Ulva, lalu ketika sudah mendapat kembalian, ia berulah lagi. “Kau terlihat manis saat marah dan terlihat cantik di saat ramah. Aaah, bagaimana kau bisa tetap menarik begitu, ya?”

            Ulva membuang muka dan tidak peduli pada wajah Wali yang sumringah karena melihat ekspresi bosannya.

            “Lihat, pipimu bersemu merah. Duuuh, manisnyaaaa,” Wali masih menggombal. Dia sudah kehilangan sikap berwibawa dan tenangnya. Sekarang, pria itu identik dengan ombak yang berusaha menggulung karang. “kau tadi menghabiskan gula berapa kilo agar terlihat—”

            “Anda bisa pergi dari sini sekarang atau perlu dipanggilkan satpam?”

            Wali mengangkat dua tangannya ke udara. Bibirnya berkedut-kedut menahan tawa. “Aku pergi, daaan jangan rindukan aku, ya?”

            “Tentu saja.” Balasan itu sangat judes, berhasil membuat Wali tersenyum hingga gigi gerahamnya terlihat.

            “Bye-bee, sweetie.”

Suami yang (Tak) DirindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang