Try 8

4 0 0
                                    

"Fel, yakin gak mau aku anter sampai rumah?"

Felicia tersenyum yakin. Saat ini ia sudah berada di stasiun ditemani oleh Hobi. Pria itu sedari tadi terus menawarkan diri untuk mengantar Felicia ke Seoul, agar wanita itu tidak perlu repot-repot untuk berdesakan bersama para pemakai kereta lain. Lagipula, Felicia sendirian, dan itu membuat Hobi sedikit khawatir.

"Aku bukan Felicia yang dulu gak berani naik kereta sendirian, Kak. Aku udah berani. Lagipula aku lebih suka kalau pulang sendirian," ujarnya tanpa menyinggung Hobi.

Pria itu tentu saja berusaha mengerti. Ia hanya masih menganggap Felicia adalah gadis manja yang suka merengek karena kepanasan. Belum terbiasa dengan sosok wanita yang sudah dewasa, punya keberanian besar untuk berkelana.

Hobi menangkup wajah Felicia. "Yakin bisa sendiri?"

Felicia mengangguk mantap. "Yakin!"

Pria itu lantas menarik Felicia ke dalam pelukannya, tanda salam perpisahan, meskipun bukanlah perpisahan yang sesungguhnya karena Hobi yakin mereka pasti dapat berjumpa kembali.

"Aku bakal main ke Seoul. Nanti, setelah aku berani untuk keluar dari sini," gumam pria itu.

Felicia kembali mengangguk. "Datanglah, Kak."

Mereka lalu melepas pelukan ketika pengumuman kereta jurusan Busan ke Seoul segera berangkat dalam waktu lima menit.

"Aku pulang ya, Kak!" Felicia melambaikan tangannya.

Hobi dengan segera merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah benda. Ia lalu menyerahkan benda itu ke dalam genggaman tangan Felicia tanpa mengatakan apapun.

Sementara Felicia, wanita itu menatap benda tersebut dan membuat genangan air mata menyeruak keluar. Ia tersenyum, lantas membawa benda itu mendekat ke dadanya, mendekapnya dengan sepenuh hati.

Felicia kemudian mulai berjalan mundur dan berbalik, memasuki salah satu gerbong. Ia melambaikan tangan kepada Hobi, hingga pintu kereta menutup, dan tak lama sampai rodanya berjalan, meninggalkan Hobi yang masih setia berdiri mengiringi kepulangan Felicia dengan hati yang jauh lebih ringan.

-

"Ma, aku pulang!"

Dari arah belakang dapat Felicia dengar suara debuman dan tidak sampai lima detik Mama menghambur ke pelukan Felicia.

Wanita paruh baya itu berkali-kali mencium kepala anak perempuannya, mengusap-usap punggung Felicia bermaksud menenangkan ketika ia kembali menumpahkan air mata.

"Gak apa-apa. Nangis aja, sayang. Gak apa-apa," tuturnya lembut.

Felicia membutuhkan saat-saat ini, berada di dalam rengkuhan Mama dan mendengar kalimat-kalimat menenangkan dari wanita yang melahirkannya tersebut. Ia telah menunggu momen ini sejak kereta melaju menuju Seoul.

Tubuhnya merosot, dan kedua wanita itu menumpahkan kesedihan di depan pintu, hingga datang seseorang lain dari belakang.

Adalah Choi Soobin, adik laki-laki Felicia.

Laki-laki berusia delapan belas tahun itu merengkuh kedua wanita yang sangat ia sayangi ke dalam pelukannya. Ikut merasakan bagaimana sakit dan sengsaranya Mama selama ini, juga Felicia yang bernasib sama.

Kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidup, adalah jauh lebih menyakitkan dari sekadar patah hati. Mereka yang terbiasa ada dan selalu terjangkau dalam satu kedipan mata, tak lagi bisa dirasakan presensinya. Yang ada hanyalah rasa hampa, dan sebuah memori yang akan terus mereka ulang kejadian-kejadian yang tak akan terlupakan dalam semasa hidup mereka.

Soobin merasakan itu setelah Papa tiada. Meninggalkan dirinya dan hanya menyisakan kenangan yang akan selalu hidup dalam hatinya.

Namun ia percaya, sejauh apapun seseorang pergi meninggalkan dirinya, mereka akan selalu hidup di palung hatinya. Mereka akan selalu ada dan akan selalu ia rasakan kehadirannya.

"Aku sayang kalian."

Adalah kalimat yang terlontar dari mulut laki-laki itu sebelum merengkuh lebih erat dua wanita paling berharga miliknya.

last try [book 2]• pjm ✓Where stories live. Discover now