Bab 16 Pemahaman Rasa dalam Dada

Start from the beginning
                                    

"Papa izinin?"

"Kalau gak, dia gak bakal berani lamar kamu di depan Papa dong, sayang,"

Harus ku akui, Chika. Tatapanmu saat memandang Papa, penuh sekali akan cinta. Tatap itu mungkin kamu berikan kepadaku juga, tapi dengan kadar yang lebih rendah. Bagitupun sebaliknya, Papa dengan lembut menatap, mengusap, dan mencium puncak kepalamu dengan penuh kasih sayang.

Beratnya melepas anak perempuan semakin aku rasakan saat Papa Shani mengantarkanmu kehadapanku dengan isak tangis yang sama sekali tak dapat ia bendung. Tangis itu semakin terlihat pilu saat ia menatap dan memegang pundakku sebelum meninggalkan kita berdua.

Kamu tahu, Chika. Ada yang pernah bilang, ketika kita telah mendapatkan apa yang kita inginkan, hal itu akan menjadi asing. Hmm maksudnya biasa saja, dari apa yang dulu diidamkan. Ketika kita memiliki cita-cita lagi, kemudian mendapatkanya, maka ketika cita-cita itu telah diraih, itu akan menjadi asing lagi. Dan begitu seterusnya.

Aku tidak mau menyalahkan, karena presepsi orang berbeda-beda. Tapi kalau kamu tanya aku setuju atau tidak dengan angapan itu, aku akan dengan tegas, menolaknya. Karena aku tidak seperti itu, semoga.

Ketika hatiku mengatakan menginginkanmu dan kemudian aku berhasil meraihnya, aku tidak akan menjadikan cita-cita ini asing dalam kehidupanku sekarang. Karena, aku tahu, menginginkanmu secara utuh, harus ku usahakan terus menerus, bahkan dengan waktu seumur hidup. Bagaimanapun, sekeras apapun usahaku, sebesar apapun rasa sayangku padamu, posisi ku akan terus mentap di nomor dua. Karena posisi Papa, tidak mungkin kamu geser dari hati pun kehidupanmu, aku paham. Aku tidak marah. Aku juga tidak merasa tidak dihargai. Aku malah bangga, kamu bisa begitu mencintai Papamu sebegitu dalam. Yang bahkan, di luar sana, perempuan seusiamu banyak yang gengsi untuk sekadar mengatakan "aku sayang ayah,"

Kecintaanmu yang begitu dalam, membuatmu begitu terpukul saat Tuhan meminta kembali Papa Shani. Kamu seperti kehilangan seluruh jiwamu, Chika. Kamu mengabaikan orang-orang di sekelilingmu. Ah– bahkan kamu mengabaikan dirimu sendiri.

"Papi, Mami kenapa? Kenapa Mami gak mau peluk Danzel?"

Keresahan terbesarku ada pada putra kita. Kamu pun tahu, Chika, dia tidak bisa jauh darimu. Dia bahkan harus melawan keresahannya setiap malam saat akan tidur. Dia biasa kamu peluk. Ketika dia tak bisa mendapatkan itu, tidurnya menjadi tak teratur. Kadang dia terlelap ketika hari sudah berganti, itupun karena dia lelah menangis.

Dua minggu pertama, kamu benar-benar seperti mayat hidup, maaf jika kasar. Kamu tak mau beranjak dari pembaringanmu kalau tidak benar-benar kamu perlu untuk turun. Kamu tak mau menelan makananmu jika benar-benar tidak dipaksa, sekalipun itu bubur. Matamu selalu tergenang air mata, pandanganmu kosong, dan bibirmu terus menggumam, memanggil Papa.

Entah apa yang telah Mama Gre katakan padamu, hingga membuatmu mau beranjak dan melakukan kegiatan lagi. Tapi, kamu tetap menanggalkan jiwamu entah di mana. Kamu menjadi dingin. Kamu masih menolak untuk mengurusi Danzel. Kamu masih tak berbicara banyak padaku. Kamu hidup, tapi mati.

"Papi, kenapa Mami gak mau jawab pertanyaan Danzel? Danzel sebel!"

Menyedihkan rasanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut dia. Dia terbiasa mendengar celotehmu, dia biasa mendengar kamu menjawab semua pertanyaannya. Ketika dia bilang begitu, ternyata yang merasa kehilangan suaramu bukan hanya aku, tapi Danzel juga. Anak kecil itu merasa kehilanganmu, bahkan saat ia belum paham apa itu kehilangan.

"Kak– aku kangen Papa,"

Setiap malam, usai aku menidurkan Danzel, kamu beberapa kali membalikan tubuhmu menghadapku. Menyimpan wajahmu di ceruk leherku. Aku tak bisa menjawab ucapanmu itu dengan kata-kata. Aku takut salah ucap. Hingga akhirnya hanya dekapan yang bisa aku berikan. Hanya mengusap lembut punggungmu yang dapat aku lakukan. Hanya itu. Sampai kamu lelah menangis dan kemudian tertidur dalam dekap tubuh ku.

Rhythm Of LoveWhere stories live. Discover now