24. Tak Terduga

202 34 10
                                    


"Dek Dims, gue duluan ya. Sorry nih gak jadi bantuinnya, mau ngejar si bangsat dulu." ucap gue dengan suara kesal diujung kalimat.

Dimas tersenyum maklum.

"Gak apa-apa, bisa sendiri kok." balasnya dengan ramah kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan gue.

Dengan langkah seribu gue mengejar Adit yang sudah tampak jauh, kaki panjangnya emang paling kurang ajar banget kalo udah jalan, pengen gue timpuk dari belakang, tapi sayang kalo bagian belakang kepala gantengnya bocor.

Terpaksa, dengan sabar gue menyusulnya.

"Adit!! Jodohku, belahan jiwaku, duniaku, semestaku. Berhenti dulu sayangkuh, nih bini lo kecapekan!!" teriak gue tapi gak ngaruh buat cowok itu.

Gue mendengus, membungkuk sebentar mengatur nafas kemudian memandang punggung Adit sengit.

"Wah, biadap nih cowok." sungut gue.





Dengan kekuatan rembulan, Raden Kian Santang, dan semangat '45 bapak Soekarno yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Hiyaaaattt!!!







Kena lo.

Langsung gue mendekap lengannya, menahan cowok itu untuk tidak berjalan lebih dahulu.

Sreett.

Saat wajah cowok itu bertoleh ke gue, wajahnya gak ada mimik sama sekali, garis bibirnya melengkung ke bawah seolah keberatan sama kehadiran gue di sini.

"Apa?"

Apa? APA?! A-P-A. WHAT?! SERIOUSLY GIRL, GUE CAPEK-CAPEK NGEJAR DIA DAN DIA CUMA NGOMONG APA?!!!

Adanya juga dia yang apa? Kenapa tiba-tiba se-dingin sekarang? Sakit jiwa nih cowok.

Dia menepis tangan gue yang masih bertengger di lengannya dengan pelan, "Gue capek. Gue duluan ya."

What the--

Anjing.

Gue menyentak lengannya ke belakang, membuat cowok itu berdiri berhadapan dengan gue, mata gue menatap nyalang kearahnya.

Dia balas menatap gue dengan mata menyipit sengit.

"Apa lagi sih, Dit? Tiap jam kek nya lo makin random, plis elah ngerti napa capek nih gue ngejer lo mulu." amuk gue.

"Yaudah."

Ucapan dia barusan membuat mata gue melebar dan emosi seketika, masih gak ngerti apa alasan dia jadi se-menye-menye itu sekarang.

"Udah sana, bantuin adek kelasnya lagi." cowok itu mendorong lengan gue pelan kearah Dimas yang sibuk membenahkan kardus di mobilnya.

"Lo kan cewek paling baik SE-DUNIA." lanjutnya dengan suara menekan, membuat gue mendelik tak suka.

Wajar dong, emang ada hukum tertulis kalo nolong orang itu salah?

Gue menatapnya lekat begitupula dia, lalu saat satu pemikiran muncul di otak gue, gue melebarkan mata dan mulai mengerti sama satu hal.

Ah, gak mungkin dong.

Gak elah, mana mungkin. Gak mungkin seorang Aditia Irsandi yang cakepnya bukan main, cemburu sama Dimas yang bahkan cuma upilan Zayn Malik.

Bibir cowok itu manyun dan terlipat, dia merunduk dalam dengan pipi menggembung, percayalah scene ini adalah momen terbaik dimana muka dia se-cute itu.



"Gue gak suka." suaranya mencicit pelan.

"Gak suka ngeliat lo deket-deket sama si Dimas-Dimas itu. Gak suka ngeliat lo ramah sama semua cowok. Gak suka ngeliat lo senyum se-cantik ini ke orang lain." dia masih tetap menunduk seraya melihat ujung sepatunya yang digesek-gesekkan ke tanah.

Waw.

Gue baru aja tertampar sama kenyataan, tungkai gue lemas, kaki gue kayak jeli, gue nyaris bersimpuh kalo kedua tangan Adit nggak memegang lengan gue sigap.

Baru kali ini dia bicara se-frontal dan terang-terangan seperti itu, terus terang gue ngerasa aneh dan gak nyaman sama tingkah dia yang tiap kali berubah, tapi semakin dia ucap kata-kata ajaibnya itu, semakin pula gue terlena dan merana gitu aja.

Dia menatap mata gue tepat, tak se-inchi pun menebarkan pandangan.

Lalu semuanya terasa slowmotion, saat Adit merapatkan dirinya ke gue, menarik dagu gue lembut, dan saat itu gue bisa merasakan benda kenyal melekat di bibir gue yang setengah terbuka.

Otak dan hati gue tiba-tiba mati.

Dan waktu itu yang bisa gue lakuin cuma tutup mata merasa geli dan terbang dalam waktu relatif cepat, sisanya gue merasa kepala gue pening, seperti mabuk tanpa alasan.

Ini tak terduga. Sekilas mirip mimpi, tapi saat tangan Adit melepas dagu gue ringan dan saat itu juga gue tau kalo tadi baru aja kami berciuman.

Di parkiran mobil yang sepi.

Gue membuka mata pelan-pelan, dan mengerjap-ngerjap menyesuaikan kondisi yang berubah awkward saat wajah Adit masih satu jengkal dari wajah gue. Semua pias.

Gue pengen kayang, salto, jungkir balik, sit up, push up sampai pingsan.

Tubuh gue yang kaku kini cuma jadi patung bego di depan Adit yang sama-sama membatu menyadari ulahnya yang berefek besar bagi situasi kami.

Dia menjauhkan badannya, melihat ke arah lain sambil mengusap belakang kepala dengan senyum tertahan, ada rasa bangga di mukanya saat dia berhasil buat gue mati kutu di depannya.




"Dit?"





"Hm?"

"Kok bentaran doang?"





***













Look at Me (END) Where stories live. Discover now