8 : Sederas Air Hujan

800 61 2
                                    

Aku memantulkan diriku di cermin. Seragam yang telah kukenakan sudah lengkap. Hanya tinggal memakai dasi dan sepatu hitamku. Aku mendekatkan wajahku ke cermin. Memperhatikan wajahku yang uh, tidak bersemangat.

Hari ini cuaca mendung. Gelap. Itu sebabnya mungkin aku jadi tidak bersemangat. Tidak ada matahari yang menghangatkan pagi ini.

Aku melirik jam yang bertengger di dinding kamarku. Jam enam kurang tiga menit. Masih sangat pagi. Iya, aku sudah terbiasa berangkat sekolah pagi sekali. Bukan karena takut terlambat, tapi aku selalu menyempatkan diri untuk membaca buku sebelum pelajaran di mulai.

Aku mulai memakai kaus kaki dan sepatu kets hitamku. Bersiap untuk keluar dari kamar dan pergi menuju ruang makan.

Saat berada di ruang makan. Aku melihat Kak Erga yang sudah siap dengan setelan kerjanya. Menyeruput kopinya dengan perlahan. Dan Kak Tere yang tiba-tiba datang membawa roti bakar dari dapur.

"Pagi Fan," sapa Kak Tere padaku.

"Pagi, Kak. Pagi juga Kak Erga," jawabku dan menyapa Kak Erga.

Aku langsung duduk. Mengambil satu buah roti bakar berselai coklat. Memakannya langsung dengan tidak bersemangat.

"Fan, nanti siang kakak sama Kak Erga ada acara di rumah orang tuanya Kak Erga. Mungkin acaranya sampai larut malam. Kamu nggak apa-apa kan kalau sendirian dirumah?" tanya Kak Tere.

"Ih nggak usah lebay deh, Kak. Aku udah gede. Jadi nggak masalah kalo aku sendirian di rumah!" jawabku mantap.

"Siapa bilang kamu udah gede. Kamu masih pake baju sekolah. Itu tandanya kamu masih kecil!" sembur Kak Erga seraya memakan roti bakarnya dengan lahap.

Aku melirik Kak Erga sebal. "Umur aku udah 17, aku udah beranjak dewasa! Kak Erga tuh yang udah tua tapi kelakuan masih anak Tk!" balasku lalu memeletkan lidah ke Kak Erga.

"Perlu dijaga baik-baik tuh suamimu, Kak." lanjutku berbicara pada Kak Tere.

"Biarin aja dia ilang, Fan. Palingan dia juga balik lagi. Mana mungkin bisa jauh dari kakak," ucap Kak Tere usai mengunyah rotinya.

"Iyalah, aku kan cinta sama kamu. Mana mungkin aku kuat kalo jauh dari kamu," timpal Kak Erga.

"Hmm, masa? Buktinya dulu kamu pernah ninggalin aku," balas Kak Tere mencibir.

"Lagian siapa yang nyuruh kamu nggak jujur sama aku?"

"Siapa yang suruh kamu buat suka sama aku? Aku kan udah bilang jangan cinta sama aku kalo kamu belum tau apa-apa tentang aku. Tapi kamu ngotot ngedeketin aku terus," jawab Kak Tere yang sepertinya sudah kesal.

"Oh, jadi mau ngungkit masa lalu kita nih?" tanya Kak Erga santai sambil menyeruput kopinya.

Drama mulai lagi. Sinetron. Ini udah biasa. Hampir setiap hari, aku mendengar ocehan mereka yang mengungkit masa lalu mereka. Kenapa mereka nggak bosan-bosan ngungkit masa lalu mereka? Tentu, Aku yang mendengar ocehan mereka bosan.

"Drama dimulai! Aku berangkat duluan ya!" pamitku langsung berdiri dari tempat duduk meja makan. Sontak membuat mereka diam.

Kak Tere melirikku dan mendengus sekilas. "Eh minum dulu nih obatnya!" ujar kak Tere sambil mengambil satu tablet dari dalam botol dan segelas air yang berada di atas meja, lalu memberi obat tablet itu padaku.

Aku mendengus. Malas. Bosan meminum obat itu lagi.

"Bosen juga kalo harus minum obat ini," ucapku usai meminum obat itu.

Kak Tere hanya diam tidak menjawab ucapanku. Sontak ia berdiri dari tempat duduknya. Lalu dengan cepat ia membereskan piring-piring kotor di atas meja. Setelah itu ia berjalan ke dapur membawa piring-piring kotor tersebut.

Rainy TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang