CHAPTER 3

59 4 1
                                    

                                 ***
                                   •
                                   •
                                   •

~Nikmat manakah lagi yang kamu dustakan~

Sepertinya benar.

Sunggu nikmat hidup sebagai seorang Juleha ini. Dapet handphone gratis. Mana iphone mahal lagi. Paketan gratis dari Mas Dafa. Plus uang 500 ribu setiap bulan.

Tapi.

Yang namanya manusia pasti banyak kurangnya. Nah, seperti yang dia rasakan saat ini.

" Uang ada, handphone ada, paket ada. Sudah lengkap hidup ini. Tapi seperti ada yang kurang. Berasa hampa. Bagaikan sendal jepit tak sepasang. Kiri dua-duanya." ucapku bermonolog.

" Ada apa Leha? Ibu lihat dari tadi kamu seperti banyak pikiran. Coba berbagi cerita sama ibumu ini." ucap ibu yang sudah menjemurkan pakaian di teras.

Kami sedang duduk di taman.

Cuaca hari ini bagus. Panas tapi tidak terik. Disertai angin sepoi-sepoi. Nikmat sekali.

" Ibu, hidup kita ini sudah nyaman sekali. Mendapat majikan baik, tempat tinggal yang nyaman, gaji, dan banyak hal. Plus dengan motto dan semboyan hidup Leha, kenapa hati ini berasa ada yang kurang yah bu?" ucapku menghayati.

Seperti sedang di zona

Hidup tapi hambar

" Alah nak, bisa jadi Allah sedang memberi hidayah dan sekarang Allah sedang membuka pintu hidayah selebar mungkin untukmu. Lebih dekatlah lagi nak dengan Allah."

Apa benar yah?

Tapi....

" In shaa Allah, Leha selalu berusaha dekat dengan sang Pencipta. Leha kan selalu mendengar nasehat ibu dan bapak. Dan saat sekolah dulu Leha inget sekali karena guru memberi tugas cerita dengan judul 'Aku dekat dengan Allah'. Jadi, in shaa Allah Leha mengerjakan ajaran itu." ucapku yakin. "Tapi perasaan yang Leha rasakan saat ini itu adalah perasaan yang berbeda. Seperti ada tapi tak ada."

Perasaan yang membuat kita tak bergairah melewati hari-hari.

" Dari kapan perasaan itu ada, nak?"

" Mungkin dari dua hari ya-yang lalu?" ucapku tak yakin. " Oh iya, hari yang sama dari semenjak Mas Dafa pergi keluar kota bu."

" Lah! Itu mah namanya kamu sedang ada dalam fase galau toh nak." ucap ibuku.

Aku memandang penasaran.

Kepo.

" Wajar jika kita jadi uring-uringan. Malas makan karena jika dipaksakan akan terasa hambar. Sampai-sampai ragapun tak bergairah berkeliaran. Seperti jiwa tanpa raga saja. Jika dalam penyakit sudah ada pada tahap kronis!"

Merenung. Kita cek dulu.

Uring-uringan. Iya.

Malas makan. Lumayan.

Tapi jika diberi sambal, lahap kembali.

Malas beraktifitas. Sangat.

Ah, satu lagi!

Seperti jiwa tanpa raga....

" Bagaimana sudah paham nak?" ucap ibu sambil tersenyum teduh.

Senyumku mengembang.

" Belum bu..." kemudian menyengir bagai kuda.

Ibu mengambil napas dalam-dalam lalu di keluarkan lewat bawah.

Cewe MatreOnde histórias criam vida. Descubra agora