Here I Go Again

20 3 43
                                    

[Author Note] Rose swore a lot, so beware.

.

.

Harus Rose akui perjalanan itu menyenangkan. 2 hari menyusuri New York membuatnya berasa terbang, mungkin karena pada akhirnya Rose tidak perlu memikirkan apa-apa lagi selain perjalanan. Berjalan dan angin dan musik. Pikirannya tenang layaknya samudera. Tak bergejolak namun menakutkan.

Situasi yang dia hadapi dengan Shandy, Joo Hyuk dan Seung Woo juga tidak terlalu darurat. Selain pembicaraan yang dia lakukan bersama Joo Hyuk jauh tengah malam di hari pertama mereka, tidak ada lagi topik pembicaraan yang begitu memberatkan Rose. Dan dia bersyukur akan itu.

Yang lebih mengejutkan adalah betapa mudahnya dinamika mereka terjatuh ke dalam ritme kebiasaan mereka sejak dulu. Shandy dengan santainya bisa bergelayutan di lengan Rose atau Joo hyuk atau Seung Woo. Joo Hyuk pun memperlakukan Rose layaknya dia tidak pernah pergi. Menguncinya dengan lengannya, memukulnya dengan pelan, atau pun menertawakannya bersama Shandy dan Joo Hyuk. Dan Seung Woo pun terlihat sama. Akrab namun terbentengi. Karena seperti itulah sejak dulu hubungan mereka. Seung Woo selalu menjadi satu-satunya orang yang enggan berkontak fisik dengannya. Yah, kecuali sekali waktu dulu yang Rose sama sekali menolak untuk mengingatnya.

Antara angin dan masa lalu, Rose mendapati dirinya terjebak antara keinginan untuk peduli dan juga dorongan untuk tersenyum.

***

"Niagara falls indeed is pretty," komentar Rose ketika mereka sampai di tujuan pertama mereka. 3 hari setelah road-trip itu resmi di mulai.

Shandy mengangguk setuju.

"But you are pretty, too," Seung Woo menambahi, mungkin ingin bersikap baik. Tapi Rose is an asshole through and through.

"Yeah, pretty dead inside." Jawabnya datar.

Joo Hyuk dan Shandy tertawa terbahak di belakang mereka, sementara Seung Woo melihatnya seakan Rose baru saja memvonis kehidupannya.

***
Well, harusnya Rose sadar segalanya pasti akan sampai pada titik buruk lagi.

Segalanya di mulai dengan pengawalan yang sama.

Rose mendapati matanya terbuka di ruangan putih dan terang benderang. Dia memakai baju putih sehalus sutra, bertanya-tanya dimana dia sekarang sebelum matanya terbiasa dengan ruangan serba putih itu. Beberapa saat kemudian dia sadar dia sedang berada di ranjang. Ranjang itu juga berseprai putih, sempit, hanya mampu menampung tubuh Rose dengan sisa ruang yang begitu minim. Akhirnya dia memutuskan untuk berdiri dan menginvestigasi tempatnya berada sekarang. Matanya awas melihat kesekitarnya dan sadar bahwa dia kini berada dalam sebuah ruangan persegi yang begitu sempit, yang hanya memuat dirinya dan juga ranjang rapuh itu.

Matanya berkeliling mencari pintu keluar, dia mulai merasakan claustrophobic berada disana. Tapi ternyata tidak ada pintu. Berusaha membuat dirinya tenang, Rose mengangkat kepalanya untuk mencari jendela. Dan jendela juga vakan. Matanya kini dengan liar menyusuri setiap sudut ruangan itu sementara tangannya saling menggenggam satu sama lain, mencegahnya untuk tidak terlalu gemetar. Nihil.

No doors, no windows, no ventilations. No nothing. She pretty much was trapped in this room with no escape route.

Panik mulai menguasainya, nafasnya berderu dengan begitu kencang. Dan ketika dia sadar bahwa dia tengah terkurung, ruangan itu seketika berubah. Bukan lagi putih, melainkan hitam pekat tak bercahaya. Dengan telinga berdering, dan dada berdebar Rose berusaha meraba jalan keluar tapi tetap tangannya hanya menemukan dinding, kini bahkan ranjang itu pun kelihatannya sudah lenyap. Dan ruangan itu semakin menyempit dalam usaha Rose untuk mencari jalan keluar.

Our Road-tripWhere stories live. Discover now