Pilihan Hidup

8 2 4
                                    

Selama dua setengah tahun berkuliah di universitas, aku juga mengikuti banyak kompetisi menulis. Aku gagal beberapa kali di kompetisi-kompetisi awal, namun seiring berjalannya waktu kemampuan menulisku semakin terasah. Pada akhirnya setiap kali mengikuti kompetisi menulis, aku keluar sebagai pemenang. Sebagai bonus, namaku semakin luas dikenal bukan hanya di kota Semarang tetapi juga di Indonesia. Itu karena dua karyaku yang pernah kuikutkan kompetisi resmi dipublikasikan menjadi buku cetak.

Ketika memasuki semester tujuh, aku berhenti mengikuti kompetisi menulis demi berfokus pada persiapan skripsi. Pasalnya dengan nilai-nilai akademikku yang baik, aku selalu bisa mengambil dua puluh empat SKS dalam satu semester selama ini. Maka dari itulah ada kesempatan besar terbuka untukku bisa menyelesaikan kuliah tanpa harus mengambil semester delapan.

Selama itu juga persahabatanku dengan Cin-cin, Matthew dan Willy semakin erat. Setelah berbaikan di kafe om Sammy, ada beberapa kali pertengkaran lagi di antara kami akibat hal-hal kecil maupun besar. Namun begitu, kami tidak pernah benar-benar berpisah karena kami sepakat untuk terbuka satu sama lain dan menyelesaikan setiap masalah yang ada. Kami pun saling mendukung dalam segala situasi.

Kabar baiknya adalah tidak ada lagi yang menguber-uber Cin-cin seperti dulu sehingga aku tidak perlu lagi menjadi pengawalnya. Karena pada akhirnya sahabatku ini belajar untuk berkata tidak. Itu semua berkat bantuan Matthew dan Willy banyak kali melatihnya ketika aku tidak ada. Lega rasanya hatiku melihat Cin-cin bisa tetap aman dimana pun ia berada.

"Kat, Katie!" suara seorang gadis memanggilku dari belakang saat aku hendak berjalan menuju ke e-library milik fakultas seni dalam rangka mencari referensi untuk skripsi.

Gadis itu berlari dan berhenti di sebelahku. Ia adalah salah satu dari mahasiswa yang sekelas denganku di beberapa mata kuliah.

"Kenapa, Angel?" aku terheran melihatnya terengah-engah dan bermandikan keringat.

"Cin-cin, Kat," saat ia menyebut nama sahabatku, jantungku serasa dihantam. Ada sesuatu yang tidak baik telah terjadi.

"Kenapa Cin-cin?"

"Ada banyak leaflet ditempelin di papan pengumuman," gadis itu berhenti untuk menghela nafas lagi, membuatku tak sabar, "ngomonging tentang albino-nya Cin-cin."

Benar dugaanku. "Terus Cin-cin dimana?"

"Nggak tahu. Terakhir aku lihat, dia nangis terus lari keluar dari gedung ini."

Setelah mendengar ucapan Angel, aku meninggalkannya begitu saja dan lupa berterima kasih. Aku buru-buru keluar dari gedung dan mencari di parkiran. Yang pertama aku cari adalah mobilnya.

"Mobilnya masih ada," aku bergumam. Kusisir seluruh sudut area dimana aku berdiri sejauh mataku bisa memandang.

Semuanya baik-baik saja selama ini. Tidak ada yang mengetahui tentang kondisi Cin-cin yang sebenarnya kecuali aku, Matthew dan Willy. Namun apa yang baru saja terjadi? Bagaimana bisa seseorang mengetahuinya? Tidak. Pertanyaan yang benar adalah, bagaimana seseorang setega itu untuk menyebarkannya ke publik tanpa memikirkan perasaan Cin-cin?

Aku berlari kesana kemari mencari batang hidung sahabatku itu. Sungguh aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi padanya karena hal ini. Dengan gumaman lirih aku menyampaikan doa agar Cin-cin baik-baik saja.

"Ayolah, Cin. Kamu dimana?" ucapku seolah Cin-cin akan mendengarnya. Aku pun sudah meneleponnya berkali-kali tetapi panggilanku tidak diangkat.

Hampir putus asa aku jadinya setelah menghabiskan beberapa lama menyusuri setiap tempat yang biasanya kami sambangi tetapi masih saja tidak kutemukan dirinya. Matthew dan Willy juga kukirimi pesan agar segera membantuku mencari Cin-cin seusai kelas Pragmatics.

How I Found YouOù les histoires vivent. Découvrez maintenant