Bab Kedua Belas

Mulai dari awal
                                    

"Aku ikut denganmu, Ibu. Aku ingin ikut. Tolong, jangan tinggalkan aku."

Kata-kata itu selalu terngiang, membuat Sirra menggeleng berkali-kali. Ren tak boleh pergi. Dia tak boleh meninggalkan Sirra seperti Reyyan, tidak boleh. Bocah laki-laki itu harus sembuh.

Sirra mengitarkan pandangan ke sekitar, matanya menyipit. Agak jauh di hadapannya, dia melihat sebuah tanaman yang dicari. Daun hanya satu lembar, berbentuk seperti daun seperti umumnya, hanya permukaannya sedikit kasar. Sirra segera menghampiri daun tersebut, berjongkok untuk mempermudah mengambilnya.

Setelah mendapat daun tersebut, dia berjalan menjauh ke luar hutan. Di gapura masuk Arciplants West, dia melihat beberapa warga sedang berkerumun.

Sepertinya mereka sedang membahas sesuatu. Tapi, tumben sekali. Aku jadi penasaran.

Sirra segera berjalan menuju kerumunan tersebut, mencoba mencuri dengar pembicaraan warga. Telinganya difokuskan, tak ingin tertinggal satu informasi pun yang akan membuatnya salah pemahaman. Perempuan itu bersembunyi di balik semak, agar tak kelihatan oleh warga. Bagaimanapun, Sirra tahu jika menguping itu perbuatan buruk. Tapi, apa boleh buat? Sirra telanjur ingin tahu.

"Kau tahu? Dua tahun lalu, ada seorang warga dari Arciplants East yang datang kemari." Warga pertama memulai pembicaraan.

"Siapa? Untuk apa dia kemari? Mencari mati?" sahut warga kedua dengan nada sombongnya. Karena memang benar, orang asing yang datang ke Arciplants West akan berakhir mati.

"Pemuda. Kabarnya sih, dia kemari untuk menemui seseorang. Warga kita." Warga pertama kembali menjelaskan. Dahinya sedikit mengernyit.

"Lalu, lalu?" tanya warga ketiga dengan tak sabar. Dia terlihat sangat penasaran daripada warga lain.

"Mati. Apalagi?"

"Terus? Hanya sampai situ ceritanya?" tanya warga ketiga kembali. Wajahnya menunjukkan sarat ketidakpuasan.

"Tidak ada kabar lebih lanjut, pemuda itu seperti hilang ditelan bumi. Tapi setelah itu justru kota kita dilanda wabah. Mengerikan sekaligus mencurigakan sekali, kan?" jelas warga pertama dengan tatapan serius. Membuat warga lain terdiam, memikirkan ucapannya tersebut. Apakah benar itu penyebab wabah yang melanda kota saat ini?

Sampai akhirnya mereka pun bubar, diikuti Sirra yang keluar dari persembunyian. Perempuan itu baru tahu hal tersebut. Ya, dia akan memperjelas semuanya dengan bertanya ke ibu dan ayah. Kalau memang benar seperti itu, wabah seperti kesengajaan. Dan memang teguran, untuk berhenti melakukan hal bejat. Jika semua bisa mengambil pelajaran dari kejadian tersebut.

"Astaga, aku lupa. Ren harus segera dibuatkan obat. Bodoh kau, Sirra. Bodoh sekali!"

Sirra menepuk keningnya sendiri berkali-kali. Lantas berjalan cepat menuju rumah. Ayah dan ibunya pasti sudah menunggu, Ren juga.

***

"Rudra, besok pagi mau ikut denganku?" tanya Ramissa setelah makan malam selesai. Saat ini mereka sedang duduk di halaman belakang, duduk di atas tanah yang sedikit lembap.

"Ke mana?" Reyyan menimpali setelahnya, lelaki itu menoleh dan menatap Ramissa dengan intens. Menunggu jawaban.

"Kau ingat tempat pertama kali kita bertemu? Dan akhirnya, menjadi tempat favorit kita."

Reyyan menggeleng. Jangan tahu, membayangkan seperti apa tempatnya saja tidak. Arciplants East masih asing di penglihatannya. Sangat berbeda sekali dengan Arciplants West, kotanya.

Ramissa tersenyum maklum. "Ah, tak apa. Mungkin kau lupa. Wajar, kau menghilang cukup lama. Mungkin kau juga lupa seluk beluk kota ini."

Reyyan tersenyum canggung, sedikit merasa tak enak. Dia bukan lupa, tapi memang tak tahu. Karena dia bukan Rudra. Bukan. Lelaki itu hanya berpura-pura saja.

"Besok, siap-siap, ya. Aku akan mencoba membuatmu ingat. Kalau tidak, kita akan mengukir kenangan manis lain."

Reyyan mengangguk, lelaki itu menunduk sambil menggambar di tanah, menggunakan ranting kering yang baru saja jatuh dari pohon. Kalung permata putih miliknya keluar, membuat sinar yang sedikit menyilaukan. Ramissa memicingkan mata, memperjelas penglihatan.

Kalung itu ... dari mana Rudra mendapatkannya?

"Rudra," panggil Ramissa pelan. Gadis itu mulai mendekat.

"I-iya. Ada apa?" jawab Reyyan agak tergugup, karena Ramissa yang sudah duduk tepat di sebelahnya. Jarak mereka hanya sejengkal.

"Kalung ini, kau mendapatkannya dari mana?"

Ramissa memegang bandul kalung tersebut, sedangkan Reyyan membeku di tempat. Tak tahu harus menjawab apa.

***

Halo, Gaes. Selamat hari Minggu, semoga hari kalian semanis madu, yaps.

Maaf, semalam nggak updae, diganti hari ini, ya. Kuy, jangan lupa tinggalin jejak, biar aku bisa belajar.

Makasih, see you next chapter~

ArciplantsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang