Bab Kedua

75 13 7
                                    

Arciplants East masih terlihat sama seperti biasanya. Semua orang berlalu-lalang ke sana kemari, tanpa peduli satu sama lain. Seorang gadis terdiam di pinggir sungai  dengan tatapan kosong. Wajahnya nyaris seperti mayat, pucat pasi. Di tangannya terdapat sebilah pisau kecil dan sebuah lukisan. Tidak bisa disebut lukisan juga karena bentuknya sudah tak keruan. Sekilas warnanya terlihat hitam, tetapi jika diamati bukan. Merah pekat. Seperti darah yang telah mengering lama.

Dari kejauhan, pasangan suami istri setengah baya hanya bisa menatap sendu. Pemandangan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka. Tepatnya, saat Rudra menghilang. Pemuda yang menjadi penyemangat hidup putri mereka.

“Apakah putri kita akan seperti itu terus menerus, Pa?” tanya sang istri sambil memeluk lengan kokoh sang suami. Matanya sudah berkaca-kaca.

“Sepertinya. Sampai datang suatu keajaiban.”

Suara sang suami terdengar datar, lebih tepatnya pasrah. Dia juga tidak tahu kapan putri mereka akan kembali ceria seperti sebelumnya. Hal itu terdengar mustahil.

“Semalam, Karlotte menemuiku lewat mimpi.”

Karlotte adalah adik bungsu sang istri, Evelyn. Dia sudah meninggal dua puluh tahun yang lalu. Pilihannya menikah dengan seorang manusia memang salah besar. Itu semua sudah ditentang oleh keluarga. Tapi, Karlotte wanita yang sangat keras kepala. Ditambah juga, dia sudah dibutakan oleh cinta. Wanita itu rela diusir dari kotanya demi perasaan tak nyata tersebut. Bodoh. Tentu saja.

“Apa yang dia katakan, Eve?”

Wanita yang berasal dari keluarga penyihir tingkat atas itu terdiam. Belum menjawab pertanyaan sang suami. Otaknya masih berusaha merangkai satu per satu mimpinya tadi malam. Cukup rumit, seperti menyatukan kepingan puzzle yang berceceran.

“Arciplants West akan musnah.”

Sang suami terdiam. Dalam hati ia membatin, sudah sepantasnya kota para pedebah itu musnah. Harusnya sejak lama. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja keadaan menjadi gaduh. Bunyi perkelahian terdengar memekakkan telinga. Dilihatnya sang putri sedang bertarung dengan beberapa pria vampir. Jangan sampai kekuatan itu keluar.

“Ramissa. Hentikan, Nak.”

Keduanya langsung saja berlari menghampiri sang putri. Emosi gadis itu yang tak terkontrol saat ini bisa jadi bencana untuk kota. Kekuatan spesial yang ada di tubuhnya bisa saja meledak, tanpa bisa dicegah.

“Tenanglah, Sayang, tenang!” Evelyn memeluk Ramissa dengan erat. Tangan wanita itu pun senantiasa mengelus punggung Ramissa terus menerus. Sedang sang suami, sedang membereskan para tikus yang mencari mati. Apakah mereka tidak tahu soal kekuatan Ramissa yang bisa membunuh mereka dalam sekejap? Apalagi mereka hanya vampir rendahan.

“Pergi dari sini. Kubilang pergi!” teriak Ramons—ayah Ramissa—dengan keras. Para vampir yang telah kalah, dan terduduk di atas tanah pun langsung saja lari. Secepat kilat.

“Rudra belum mati, Ma. Dia masih hidup,” racau Ramissa di pelukan sang ibu. Gadis itu memeluk erat lukisan tak berbentuk di tangannya. Dalam pikiran dan hatinya yang terdalam, Rudra masih hidup. Dan akan kembali menemuinya.

Ramons tiba di depan keduanya. Lantas pria setengah baya tersebut membaca beberapa mantra. Mengusapkan telapak tangannya ke wajah Ramissa. Dia terpaksa melakukan hal itu. Setelahnya, Ramissa tak sadarkan diri.

***

“Bagaimana keadaan kota saat ini?” gumam seorang lelaki yang memainkan ranting kering di tangan. Pikirannya saat ini menerawang jauh, tidak di tempat. Terakhir sebelum dia pergi, semua masih sama. Mereka masih saja hanyut dalam nafsu binatang. Tak dapat dihentikan.

Matanya memejam erat, dia mencoba mengumpulkan kekuatan yang ada di tubuhnya. Mulutnya terbuka, meramalkan sebuah mantra. Disusul dengan kedua matanya yang terbuka, menatap lurus ke sekumpulan daun kering. Kedua tangannya terangkat ke atas, bersamaan dengan daun-daun kering tersebut. Tak beberapa lama, konsentrasinya buyar. Lelaki itu mengerang penuh kesal.

“Sialan!”

“Apa aku harus kembali lagi?” tanyanya entah pada siapa. Di hutan saat ini hanya ada dirinya sendiri.

‘Tidak, Reyyan. Mereka sudah mengusirmu. Untuk apa kau kembali? Untuk dipermalukan, heh?’ ucap salah satu sisi dalam dirinya. Sisi buruk lelaki itu.

‘Kembalilah, Rey. Mungkin saja mereka membutuhkan pertolonganmu.’

Sisi lain lelaki tersebut terdengar. Kedua suara tersebut seolah-olah saling berdebat dalam kepalanya. Reyyan menjambak rambutnya yang agak panjang dengan keras. Dia bisa gila.

Kemudian, melihat matahari yang semakin terbenam, Reyyan melangkahkan kaki ke sembarang arah. Tujuannya tidak menentu saat ini. Tiba-tiba, sekelebat bayangan wajah sang ibu melintas. Memberinya sedikit kewarasan. Kini, lelaki itu tahu harus ke mana. Arciplants East.

***

“Kau mau ke mana, Sirra?”

Langkah perempuan bermuka lonjong itu terhenti, tubuhnya berputar ke arah suara yang memanggil. Dilihatnya sang ibu yang menatapnya dengan penuh curiga. Di tangan wanita tersebut terdapat sebuah wadah kecil, berisi ramuan. Pasti wanita separuh baya itu baru saja meracik obat. Pikir Sirra.

“Mencari Reyyan.”

Jawaban perempuan itu membuat sang ibu menghela napas pelan. Dia menaruh wadah obat yang dipegangnya ke atas meja. Lantas berjalan menghampiri putri tunggalnya.

“Keadaan kota masih kacau, Nak. Dan lagi, kau mau mencari Reyyan ke mana?”

Sirra terlihat berpikir. Tadinya perempuan itu akan pergi ke hutan, dia berpikir Reyyan ada di sana. Mungkin saja, kan?

“Tetap di rumahlah dulu sampai keadaan stabil. Dan Tuan Arsenio mengumumkan cara pencegahan wabah tersebut.”

“Tapi, Bu. Aku merindukan Reyyan, dan kurasa hanya dia yang bisa mengatasi masalah wabah saat ini.”

Sang ibu terdiam, hanya menatap Sirra dengan pandangan sulit diartikan. “Tetap di rumah. Ibu akan mencoba membuatkan ramuan untuk penguat daya tahan tubuh. Bersabarlah, Sirra. Kau bisa, kan?”

Sirra menunduk sambil mengangguk pelan. Dia kembali melangkahkan kaki ke dalam rumah. Di ruang tamu, dia melihat Ren yang sedang menggambar dengan pandangan kosong. Bocah itu pasti teringat ibunya.

“Ren, kau melamun?”

“Ah, tidak, Sirra. Kau tidak jadi pergi?”

Sirra tersenyum sambil mengelus pelan kepala bocah tersebut. “Tidak. Aku akan menemanimu bermain saja. Bagaimana?”

Ren terlihat bingung, namun beberapa detik kemudian bocah itu mengangguk dengan polos. Dia menyerahkan buku gambar beserta alatnya ke arah Sirra. Menggambar bersama.

“Apa yang kau gambar ini, Ren? Sapu dan orang terbang?” tanya Sirra setelah selesai melihat hasil gambar Ren. Perempuan itu mengernyitkan dahi sedikit dalam.

“Benar. Ibu pernah cerita, jika ada sebuah kota yang berisi banyak sekali penyihir. Aku ingin pergi ke sana setelah dewasa, Sirra. Aku ingin terbang dan mengubah temanku menjadi kodok jika dia nakal. Hahaha. Seru sekali, kan?”

Arciplants East? Sirra langsung saja teringat dengan kota suram tersebut. Bukannya tidak ada kehidupan di sana, tetapi isinya hanya makhluk-makhluk yang tak punya peduli kepada sesama. Mereka saling bertarung, bahkan membunuh hanya untuk mendapat sebuah kekuasaan dan kekuatan. Kota yang sangat berbahaya untuk manusia seperti dirinya, yang tak memiliki kekuatan apa-apa.

***

Halo, Gaes🙈

Bab kedua udah posting nih, menurut kalian gimana? Tambah anu, ya? Haha, di bab ini aku jelaskan cukup banyak soal Arciplants East, tempat Edelweissigra tumbuh. Semoga kalian nggak kekenyangan bahkan muntah, ya.

Ditunggu krisarnya💕💕

See you next chapter, Dear~

ArciplantsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang