"Jujur gue nggak sanggup mungkin di posisi lo. Lo udah hebat, lo udah bertahan sampai sekarang. Kamu hebat, kamu pantas di perjuangkan." Granita terkekeh dengan ucapan Lili. Baginya ia tak pantas di perjuangan. Ia terlalu rusak dan tak pantas untuk siapapun. Begitu sakit luka batinnya yang ia rasakan.

Grahita menarik nafasnya dalam, meletakkan kembali kunci mobil yang ia pegang dan mainkan tanpa tujuan, "Gue bertahan cuma buat Oma Opa gue Li. Kalau dua orang itu pulang, gue nggak tau lagi harus apa. Cukup separuh hati gue pergi bersama Opa. Gue nggak sanggup. Kalau separuh hati gue ikut menyusul separuh hati yang lain."

"Tapi dilain sisi gue sadar, kalau nggak selamanya gue egois. Tapi gue belum sanggup harus melihat lara sekali lagi. Gue hanya butuh Oma. Nggak lebih. Cukup hati gue masih sakit tapi bagian itu jangan."

Lili memejamkan matanya sejenak, tak mudah menjadi Grahita. Bertahun-tahun menyimpan luka batin yang tak kunjung sembuh. Hatinya yang patah sepatah-patahnya. Ia bahkan tak punya rumah lain selain sang Oma. Ia hanya raga yang berusaha tegar di antara batin yang runtuh termakan luka dan derita lama.

Tiba-tiba diantara debat batinnya, gawai Grahita berbunyi. Panggilan mbak Tini menjadi hal yang Grahita lihat.

"Iya mbak ada apa?"

"Anu mbak Tata. Oma jantungnya kumat. Sekarang di bawa ke Rumah Sakit Cempaka." Grahita langsung beranjak cepat. Tak memperdulikan seruan Lili yang mengikuti dari belakang. Hati Grahita seketika hancur mendengar Omanya masuk rumah sakit. Ia belum rela jika-

"Anjir sh*t! Kunci mobil gue mana?!" Saking paniknya Granita, ia lupa jika kunci mobilnya masih berada di meja balkon kamar Lili.

"Lo kenapa Ta buru-buru? Ada sesuatu?" Grahita masih sibuk mencari kunci mobilnya di saku kemeja dan celananya.

"Oma masuk RS. Gue harus kesana Li. Dam*! Dimana kunci mobil gue sih?!"

"Lo cari apa? Kunci?"

"Iya Li. Dimana?" Grahita masih panik sehingga ia tak mampu berpikir secara jernih.

"Masih di atas balkon. Nih bawa mobil gue aja." Beruntung Lili masih mengantongi kunci mobilnya yang dipakai ketika bekerja tadi. Grahita langsung menerimanya cepat. Ia sudah ingin cepat bertemu dengan sang Oma untuk memastikan keadaan perempuan senja itu.

"Jangan ngebut Ta. Besok pagi gue ke RS." Grahita mengangguk, lalu perempuan itu langsung mendekat ke arah mobil Audi milik Lili dengan cepat.

Lili tak bisa menemani Grahita karena ia harus menjaga adik bungsunya yang sedang demam. Sedangkan kedua orang tuanya sedang ada urusan di luar kota dan Grahita memakluminya.

Lantas Grahita segera melajukan mobil Lili ke arah RS Cempaka. Perempuan itu menghiraukan kata-kata Lili untuk tidak mengebut. Justru Grahita menginjak pedal gas dengan mengendarai hingga kecepatan 80km/jam bahkan lebih. Beruntung jalanan lengang karena sudah memasuki pukul 11 malam sehingga Grahita bisa leluasa mengendarai mobil dengan kecepatan penuh walau di dalam kota.

Sekitar 30 menit, Grahita sampai di RS Cempaka. Setelah memarkirkan di  basement RS, perempuan itu langsung bertandang ke resepsionis dan ternyata masih di tangani di UGD. Grahita langsung saja bergegas ke sana. Dilihatnya mbak Tini duduk di depan UGD. Wajahnya masih kentara sekali jika di runding kepanikan.

"Oma gimana mbak?" Tanya perempuan itu langsung. Nafasnya masih tersengal tetapi Grahita tak peduli.

"Oma tiba-tiba pingsan pas ke kamar mandi deket dapur. Mbak taunya pas ada suara benda jatuh terus untungnya pak Nanang tetangga depan bisa di mintain tolong." Jelas Mbak Tini yang sama paniknya juga.

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now